masak

Senin, 21 Juni 2010

RB - Bagian Dua Belas

Hari kepulangan Pram dari rumah sakit…
Dinda dan Ryan memapah Pram memasuki halaman sebuah rumah kecil yang sederhana. Sementara itu Zahra membawakan barang bawaan mereka. Pram terlihat ragu ketika Dinda membimbingnyanya masuk dan membuka pintu rumah dengan kunci yang dibawanya, sedangkan Ryan kembali ke luar untuk membantu Zahra menurunkan barang – barang bawaan mereka. Berbagai pertanyaan berserakan di kepalanya. Dinda segera membawa ayahnya duduk di kursi. Lalu ia sendiri duduk di sampingnya. Keningnya tampak mengkerut berusaha mencari kata – kata yang tepat untuk menjelaskan semua yang ada di kepalanya.
“Ayah, maafin Dinda ya, karena sekarang kita udah nggak punya rumah sebagus dulu, dan Dinda menyewakannya tanpa menunggu persetujuan ayah dan sekarang, ayah terpaksa tinggal di rumah kecil ini.. Dinda janji ya, nanti setelah Dinda dapat kerja, Dinda akan nabung, biar kita bisa tinggal rumah itu lagi..”
Dinda menggenggam tangan Pram. Pram memandang Dinda beberapa saat dengan perasaan haru, sedih, dan bangga. Dinda, inilah salah satu sikap Dinda yang persis sekali seperti Tyas, selalu minta maaf terlebih dulu kalau merasa salah. Perasaan yang begitu lembut dan perasa. Ah, Tyas.. seandainya kamu masih ada, kamu pasti bangga melihat Dinda sekarang, anak kita sudah dewasa..
“Ayah? ayah marah sama Dinda?” Dinda bertanya sekali lagi ketika melihat Pram tak juga menjawab pertanyaannya sekali lagi.
Pram tersadar dari lamunannya. Senyumnya mengembang. Segara dipeluknya gadis kecilnya itu dengan saying, “Dinda, mana mungkin ayah marah.. ayah justru bangga, karena kamu udah bisa ngambil keputusan sendiri, ayah bangga kamu bisa bertahan merawat ayah selama itu. Yah, harta hanya titipan dari yang Maha Kuasa dan dapat dicari, tapi keluarga? rumah kita sekarang ini emang kecil, tapi bukankah sering dikatakan ,’ rumah yang sempit akan terasa lapang, asalkan penghuninya berhati lapang’ ya, kan?” Pram mengusap rambut putrinya dengan sayang. Ryan yang sudah selesai membereskan barang – barang menyaksikan pemandangan ayah dan anak itu dengan penuh perhatian dan penuh rasa haru. (hiks.. hiks.. kayak di telenovela.. )

………………

Jakarta, Awal Juni 2005
Dinda mengemasi berkas – berkasnya yang berceceran di lantai. Ini adalah hari ke tiga ia berkeliling di tengah panasnya kota demi mengharapkan sebuah pekerjaan. Panas dan hujan sudah dilewatinya. Perkantoran di gedung – gedung bertingkat sampai yang hanya di petakan kecil sekalipun telah dimasukinya. Namun sampai saat ini belum membuahkan hasil. Semuanya tersangkut pada riwayat kesehatannya, TBC. Memang sih ada beberapa kantor yang tidak mempedulikan itu, tapi tidak ada kecocokan dalam gaji. Atau ada yang gajinya cocok, pekerjaannya yang tidak sesuai dengan keinginan.
Huff. Ternyata emang sulit ya, cari kerja dengan Cuma bermodal ijazah SMU, desah Dinda. Ijazah? Ya, berkat kemurahan hati kepala sekolahnya, akhirnya Dinda diperbolehkan mengikuti ujian akhir dan tentu saja di tempat yang terpisah dari murid lainnya. Dan berkat kesungguhan Ryan dan Zahra (lho, kok mereka? Oh iya, pasalnya sebelum mengikuti ujian, merekalah yang mengajari Dinda semua materi yang sempat ditinggalkan Dinda), hingga akhirnya gadis itu bisa memperoleh ijazahnya beberapa hari yang lalu.
“Ehem.. ehem.. anak ayah sedang mikirin siapa nih? “ deheman ayahnya membuat Dinda berhenti melamun. Pram, ayahnya tengah berdiri di pintu kamar dengan kruk di ketiak kanannya. Muka Dinda langsung bersemu merah (kepergok ni ye..).
“Ah, ayah! Nggak kok, Dinda Cuma lagi mikirin kerjaan apa lagi yang harus Dinda coba lamar.” jawab Dinda.
“O, kirain mikirin ngg..” Pram pura – pura berpikir dan menopang dagunya, berpikir.
“Nggg apa? Ayo, mulai deh! Ayah ada – ada aja, yang Dinda pikirin tuh Cuma ayah, suwer deh! Tak kan ada cinta yang lain..” Dinda menirukan sebuah lagu yang cukup ngetop. Tiba – tiba..
“Assalamu ‘alaikum!”
Suara dari pintu membuat Dinda berhenti berkoar, eh, menyanyi!. Hm.. pasti Ryan, bisik gadis itu dalam hati. Dan ternyata dugaannya nggak salah, Ryan memang udah cengar – cengir di sana!
“Hmmm, lumayan juga suaranya,” komentar Ryan iseng. Dinda tersenyum malu. Tapi.. “Lumayan nakutin tikus maksudnya! he..he..”
Dinda berubah manyun. Huh! Dasar, nyebeliinnnn lin.. lin..!
“Ada juga nggak apa – apa kok, Oh ya, Din, kamu udah putusin kamu mau kuliah Dimana? Ryan gimana? Oh ya, kok tumben Zahra nggak ikut?” tanya Pram.
“Eh, ada ooom. Zahra bentar lagi juga nyusul kesini oom.” cowok itu mesem – mesem begitu menyadari Pram sedang duduk di kursi tamu. Gantian Dinda yang cengar – cengir. Rasain!
“Ryan diterima di teknik ITB om, jadi, minggu depan harus berangkat ke Bandung.” jawab Ryan.
“Gitu – gitu kan fisikanya paling pinter di sekolahan yah! Kalo Dinda, Dinda belum tahu, pokoknya Dinda nggak mau macam – macam, Dinda Cuma pengen ayah sembuh dulu, baru abis itu mikirin kuliah Dinda, ok?” ucap Dinda sambil membolak balik tawaran yang diberikan Anggi kemarin, mulutnya mengerucut.
“Oh iya, gimana keadaan ibumu? Sehat? Ah, karena kamu udah banyak bantu om dan Dinda, mungkin nanti sesekali om pengen ketemu sama ibumu.” Sambung Pram.
Ryan terlihat sedikit gelagapan, “Nggg, ibu sehat, om. Tapi sekarang sedang sibuk, ngg.. mungkin..” suara Ryan tersendat, seperti ada sesuatu mengganjal tenggorokannya.
“Mungkin apa?”
“Ah, nggak, om.” Jawab Ryan menutupi apa yang ada di pikirannya. Pram tak lagi bertanya. Karena Dinda segera menyodorkan sebuah iklan yang sudah digarisi di depan mukanya.
“Yah, lihat deh! Nggg, kalo ngelamar pelayan di restoran untuk sementara dulu nggak apa – apa kali ya? Gimana yah, cocok nggak tampang Dinda yah? Ok kan Yan?”
“Cocok, buat nakutin preman yang nagih uang keamanan Din! he..hee.. “ jawab Ryan asal. Ggrr.. Dinda tambah cemberut, “Becanda denk! Mendingan cari kerjaan part time di butik – butik atau toko islam aja Din, kan kamu bisa sekalian belajar pakai jilbab.”
Kening Dinda berkerut, “ Belajar pakai jilbab kayak Zahra?”
Ryan mengangguk. Dinda memandang Ayahnya, “ Pantes juga kali ya, yah? Seragam kerja panjang, trus pakai jilbab, gimana yah?” Dinda memandang Pram meminta pendapat.
Pram terdiam. Ia mengerti dengan ucapan putrinya. Dinda, sebegitu besarkah cintamu pada ayahmu ini? Sampai harus mencari pekerjaan dan menunda kuliah demi Ayahmu ini? mengapa selama ini aku tak menyadarinya selama ini?
“Lho, kok ayah jadi diam? Dinda kan nanya pendapat ayah...” Dinda bingung. Ryan yang tadinya cengengesan ikut diam.
Pram menatap Dinda, “Nggak, nggak apa – apa kalo kamu suka, lagian mungkin memang sudah sepantasnya kamu memakai kerudung. Dan sementara itu, sambil nanti ayah coba hubungi beberapa mantan relasi papa di kantor apa ada yang butuh staff di sana, sekaligus nanyain apa ayah masih bisa masuk lagi ke sana. Ngg.. tadi, ayah cuma mikir aja, kalau ayah nggak ngalamin seperti ini, kamu pasti sedang sibuk seperti temen – temenmu yang lain sekarang, sibuk nyari tempat kuliah, tes ke sana – sini atau siap – siap kuliah di universitas favorit dan bukannya sibuk cari kerjaan. “
“Udah ah, ayah. “ Dinda memotong perkataan ayahnya, ”Kok ngomong gitu sih? kan ayah sendiri yang ngomong, semua ada hikmahnya, jadi kita ambil hikmahnya aja, ok? Mungkin Dinda mau ngasih kesempatan dulu buat orang lain kuliah di sana, lumayan kan satu bangku? Hmm, Dinda mo masak dulu, biar ntar kita bisa makan bareng – bareng. Ayah ngobrol aja sama tuan iseng ini ya? Ok?” ujar Dinda. Bibirnya berusaha menyunggingkan senyum, sebelum berlalu menuju dapur. Pram geleng – geleng kepala melihat ulah putrinya. Dinda.. Dinda !
Di dapur, Dinda merenungkan kembali kata – kata ayahnya. Hati Dinda terasa teriris. Bukan, bukan karena ia memikirkan kenyataan bahwa dirinya tak bisa seperti teman – temannya yang lain, juga bukan memikirkan keadaan ayahnya yang membuatnya seperti ini.. karena tanpa kejadian yang menimpa ayahnyapun ia pasti akan mengalami seperti ini. Tapi, hatinya terasa pedih karena memikir kenyataan tentang keadaan dirinya yang kian hari semakin memburuk dan membayangkan waktu yang semakin menyempit, Apalagi mengingat beberapa hari terakhir ini frekuensi batuknya yang semakin menjadi – jadi dan dadanya yang sering kali terasa sakit. Pilu.

…………bersambung ke bagian 13…………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar