masak

Rabu, 23 Juni 2010

RB-Bagian Sembilan Belas

Dinda membuka matanya perlahan. Selang oksigen dan alat pembantu pernapasan masih terpasang di hidung dan mulutnya. Dipandangnya dinding rumah sakit yang putih dan wajah orang – orang yang berdiri di sekeliling tempat tidurnya. Semua wajah itu memandangnya dengan tatapan cemas. Dinda memandang wajah itu satu persatu. Ayahnya menggenggam tangan gadis itu dengan erat dan bekas air mata yang belum mengering. Wajah Pram tampak pucat seperti kapas. Lalu mata Dinda beralih pada wajah lainnya. Fery, tante Tari yang sedang memeluk Anggi yang kini mengucurkan air mata, serta.. teman – teman se-Gank-nya, Desi, Mia, dan Selly!
“Din, maafin kita semua, ya? Seharusnya kita tetap dampingin elo, bantuin elo untuk melewati semua ini.. seandainya saja kita nggak ninggalin elo.. pasti semuanya nggak akan begini.. ” Mia menggenggam tangan Dinda. Matanya dipenuhi oleh butir – butir bening air mata dan memancarkan rasa penyesalan yang amat sangat.
Dinda hanya mengangguk lemah sebagai jawaban. Hati Mia, Selly, Desy dan Anggi semakin teriris – iris. Ketiganya tak mampu menahan rasa sedih mereka dan menahan isak tangis.
Tiba – tiba suasana yang beku itu dicairkan oleh suara dari arah pintu. Dokter Frans!
“Bapak Pram, nyonya Tari..” panggilan dokter mengagetkan semua yang hadir di ruangan itu. Tanpa banyak bertanya, Pram dan Tari segera mengikuti isyarat dokter yang bernama Frans itu menuju ruangannya.
“Begini pak, ibu Tari.. kami tetap akan berusaha semampu kami, tapi kami juga tidak mau membohong bapak dan ibu tentang keadaan Dinda, ini adalah saat – saat yang sulit..” Dokter Frans membuka perbincangan.
“Memangnya keadaan Dinda bagaimana Dokter?” tanya Pram cepat.
“Tubercolosis sebenarnya penyakit yang bisa diobati dan pemerintah sendiri sebenarnya menyiapkan pengobatan gratis untuk penyakit ini. Kalau pasien bisa mengikuti pengobatan menurut semestinya, Insya Allah akan sembuh. Cuma, kebanyakan pasien biasanya tidak tahan karena pengobatan yang membutuhkan waktu yang panjang, sehingga banyak yang putus berobat.. dan akibatnya kumat tebece jadi kebal terhadap obat – obatan.. Dan itulah yang dialami Dinda yang putus berobat berkali – kali dan sudah terbilang parah dan sudah mengeluarkan batuk darah.. serta tebece tidak lagi hanya menyerang paru – parunya, tapi juga telah menyerah organ – organ lainnya.. dan juga mungkin karena selama ini ia kurang istirahat, kami menemukan ada pendarahan bagian organ dalamnya, untuk itu kami masih harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Dan ini,“ Dokter itu menunjuk hasil roentgen di layer proyektor di sampingnya,” Anda lihat kan? Dalam roentgen Thorax, tulang yang padat akan terlihat putih, sedangkan udara akan terlihat hitam.. tapi ini, lihatlah! Bayangan putih di mana – mana, itu artinya ada infeksi di mana – mana, dan juga undara yang tersimpan di paru – parunya sangat sedikit.”
“Berapa persen kemungkinan akan sembuh dok?” tanya Pram dengan penuh harap dan rasa takut.
“Ada, tapi sangat kecil kalau tidak segera ditangani.. sementara ini kami sudah memberi obat – obat yang mungkin akan membantu, tapi kami sendiri tidak yakin.. obat – obat itu hanya untuk sementara.. apalagi, kemungkinan pasien punya asma dan penyakit lainnya.. tapi, kami bukan tuhan yang bisa menentukan hidup dan mati seseorang, karena itu kita semua harus berdoa.”
Pram dan Tari menarik napas dalam – dalam. Semua terdiam.
“Maaf, Dokter…”
Suara lain di belakang mereka membuat ketiganya menoleh. Kaget. Ryan berdiri di sana.
“Ryan? Kok kamu bisa ke sini?” tanya Pram spontan.
“Maaf, apakah anda ada perlu dengan pak Pram atau Ibu Tari?” potong dokter Frans.
“Nggak, dokter. Saya Ryan, Nngg.. temannya Dinda. Ngg.. Maaf, sebenarnya saya sudah sejak tadi mendengar pembicaraan dokter di sini, hm.. saya Cuma menyampaikan informasi yang saya dapat.”
“Tentang apa?”
“Saya baca di internet, dan ternyata ada rumah sakit pertama yang didirikan oleh WHO dan pemerintah Latvia yang khusus menangani pasien putus berobat dan pasien yang terbilang cukup parah.”
“Oh, ya.. saya juga tahu hal itu, waktu pengobatannya cukup singkat dan memang saya tadinya akan menyarankan itu. Dan untuk pengobatan lainnya pun mungkin akan lebih baik di sana. Bagaimana pak, bu?” dokter Frans berpaling pada Pram dan tante Tari. Pram dan Tari menghela napas pasrah, seperti tak ada pilihan.
“Ngg.. tapi..” Ryan tiba – tiba tampak ragu.
“Tapi apa?” tanya Pram dan Tari serentak. Cemas.
“Saya juga dapat informasi kalau ternyata biayanya seratus kali lipat berobat biasa…”
“Itu benar.” Dokter Frans mengangguk mengiyakan.
“Saya akan bantu, dokter..” ucap tante Tari tiba – tiba, mengejutkan Pram dan Ryan. Tari mengangguk meyakinkan ketiga orang itu. Pram dan Ryan memandang Tari dengan tatapan terima kasih yang tak bisa digambarkan dengan kata- kata. Haru semerbak mewangi di ruangan itu seketika.

…………………

Fery masih termagu sendirian di samping tempat tidur Dinda. Matanya terus memandangi Dinda yang tertidur pulas. Hatinya masih terasa was-was, walaupun sejak beberapa saat yang lalu gadis di depannya itu tak lagi membutuhkan alat bantu pernapasan. Hatinya terasa pedih, begitu mengingat apa yang terjadi selama ini.
“Fer, Zahra..”
Fery dan Zahra yang sedari tadi membisu terlonjak kaget. Terlebih lagi melihat Dinda yang ternyata kini telah terbangun.
“Kok pada bengong? Mana.. yang lainnya?”
“Eh, em.. itu.. “ Fery gelagapan, “Temen – temen kamu udah pulang, waktu kamu tidur tadi, trus ayah kamu sama mamaku masih di ruang dokter..”
“Ra, Ryan udah datang ya?” tanya Dinda dengan suara lemah. Wajah terlihat semakin pucat, seputih kapas.
“Udah kak, maaf, Zahra terpaksa kasih tahu kak Ryan, tadi pas dia datang kakak lagi tidur, sekarang dia lagi ke ruang dokter.” Jawab Zahra agak cangung.
“Kamu nggak ngasih tau kan, Fer tentang apa yang terjadi?”
“Belum sempat, Din..”
“Ada apa sih kak?” Tanya Zahra penasaran.
Dinda tak menjawab, matanya terlihat berkaca – kaca. Zahra tak berani bertanya lebih jauh lagi.
“Tolong jangan kasih tau apa-apa ya? Janji ya, Fer?” pinta Dinda.
Fery mengangguk. Hatinya terasa teriris – iris dan sedih, “udah, Din.. kamu nggak usah mikirin apa – apa dulu, yang penting kamu bisa sembuh, ok? Oh, ya.. tadi Selvy telpon, dia titip salam buat kamu..” bujuk Fery.
“Iya.. makasih ya, kalian udah nungguin aku..”
“Seharusnya aku yang makasih, Din.. kamu nggak benci sama aku, padahal aku udah nyakitin hati kamu..” Fery tertunduk. Hatinya diliputi rasa bersalah. Dinda tersenyum.
“Udahlah, jangan diungkit lagi, semua ini bukan salah siapa – siapa. Lagipula aku senang sekarang, semua udah kembali kayak semula, teman – teman.. ayah.. kamu.. juga Ryan.. aku udah tenang sekarang, Fer.. kalaupun aku harus pergi..”
Fery dan Zahra tak tahan mendengar ucapan Dinda. Fery memalingkan mukanya. Air mata mulai mengalir dari sudut matanya. Zahra reflek menyilangkan jarinya di bibir Dinda, menyuruh gadis itu menghentikan ucapannya, “Kak, please.. jangan bilang begitu, kakak pasti sembuh! kakak akan sembuh.”
“Benar, Din.. “
Terdengar suara dari arah Pintu ruangan yang terkuak.
“Ryan? Ayah? Tante Tari?” ucap Dinda.
“Ya, nak, besok kita akan berangkat ke Latvia..” jelas Pram. Dinda menatap ayahnya dengan bingung.
“Buat apa, yah?”
“Ya, buat berobat laah, masak mo piknik!” celetuk Ryan.
Dinda tersenyum, lalu “Trus, biayanya..?”
Pram dan Ryan tidak segera menjawab. Keduanya hanya memandang Tari dan mengedipkan mata sebagai isyarat. Dinda segera mengerti.
“Makasih ya, tante. Maaf, Dinda merepotkan..” tante Tari mengangguk, Dinda lalu berpaling pada Pram, “Ayah, Dinda mau bicara berempat dengan ayah, Zahra dan Ryan.” pinta Dinda
Pram bingung. Semua yang hadir di ruangan itu segera menyingkir, lalu melangkah ke luar ruangan dengan wajah mengerti, walaupun wajah mereka diliputi rasa ingin tahu.
“Ayah, ayah nggak akan menuntut Anggi kan?”
“Nggak, sayang. Ayah udah maafkan semuanya.”
“Ayah, kalau boleh, Dinda punya satu permintaan sebelum Dinda dibawa kesana” ucap Dinda. Pram memandang Dinda bingung.
“Permintaan apa, Din?” tanya Pram.
“Dinda.. Dinda ingin ayah mau bertemu dengan seseorang..” ucap gadis itu sembari berpaling pada Ryan. Ryan balas mengangguk.
“Siapa?”
Dinda berpikir sejenak, lalu dikuatkannya hati mengatakan hal itu, “Tante.. tante Sintya.” Jawabnya pendek. Wajah Pram langsung diliputi rasa terkejut.
Di sisi lain, Ryan dan Zahra memandang Dinda dengan tak kalah terkejut. Dinda balas menatap mereka dengan wajah memohon agar kedua kakak beradik itu mengerti.
“Yan, sudah saatnya semua rahasia ini dibongkar.” Gumam Dinda pelan. Ia memberi isyarat agar Ryan mendekat.
“Din, aku…” ia berusaha membantah, tapi akhirnya ia menyadari kebenaran kata-kata gadis itu. tak ada lagi yang harus dirahasiakan, jangan adalagi teka – teki!
Dinda berpaling pada Pram, “Yah, maaf Dinda menyelidiki ini sendiri dan tak memberitahu ayah tentang semua yang sudah Dinda ketahui selama ini.. ini Ryan, anaknya tante Sintya. Dan ini.. “ Dinda berpaling pada Zahra yang sedari tadi menunduk cemas.”Ini anak.. anak ayah..” Dinda mengucapkan kata-kata terakhir itu dengan penuh ragu – ragu.
Zahra tak berani menengadahkan mukanya. Wajah itu berubah seputih kapas. Pram apalagi. Ia terperanjat kaget, “Apa?! kamu bilang apa, Din?”
“Ya, ayah. Dinda.. Dinda menemukan photo tante Sintya dan ternyata.. dia adalah ibu dari Ryan dan Zahra, yang selama ini menemani Dinda, menjaga ayah..”
“Benarkah itu, Din? Ryan? Zahra”
Ketiganya langsung mengangguk menjawab pertanyaan itu. lalu ia memandang Dinda, Zahra dan Ryan secara bergantian. Tanpa diduga ia menghambur memeluk anak itu, memeluk Zahra, lalu memeluk Ryan.
“Ya Allah, terima kasih telah mempertemukan kami kembali…” air mata menetes dari sudut mata Pram. Dinda memandang pemandangan dengan perasaan haru.
“Kapan ayah mau menemui tante Sintya?” sela Dinda.
Pram melepaskan pelukannya, matanya memandang ketiga anak yang kini berdiri di depannya secara bergantian,”Ayah… ayah..” Pram tak dapat melanjutkan kata – katanya.
“Kenapa Yah?”
“Beri ayah waktu..” gumam laki – laki setengah baya itu lirih. Matanya menerawang sedih. Ryan segera memapahnya duduk di kursi di samping tempat tidur Dinda.
Semua menghela napas panjang.

……………………..

Sintya sedang duduk di kursi ruang tengah. Sebuah majalah tergeletak di depannya. Ia membolak – balik kertas itu dengan malas, seperti bosan dan capek. Tiba – tiba…
“Tok! Tok! Tok! Assalamu’alaikum…”
Suara ketukan pintu dan sebuah suara yang amat dikenalnya membuat ibu satu anak itu menoleh, “Wa’alaikumussalam” jawabnya, lalu beranjak menuju ruang tamu.
Namun sesaat kemudian langkahnya terhenti. Ia terpaku menatap orang – orang yang datang bersama Ryan. Mereka tak lain adalah Dinda dan.. Pram!
Ryan segera menyalami wanita itu, diikuti oleh Dinda, sedangkan Pram masih terpaku di depan pintu dengan mata tak berkedip dan rasa tak percaya dengan apa yang disaksikannya.
“Ibu.. maafkan Ryan. Ini..,”Ryan berpaling pada Pram,”Ibu.. ibu belum lupa bukan?”
Wanita itu tak bergeming dan seperti tak mendengar apa yang dikatakan Ryan. Matanya menatap lurus ke depan. Menatap Pram.
“Mas..” ucapnya dengan bibir gemetar.
“Sintya? Saya.. saya mencarimu kemana – mana…”
“Maafkan saya, mas…”
Dinda dan Ryan tak ingin menggangu suasana itu. Keduanya lalu segera menyingkir ke ruang tengah, membiarkan kedua orang yang baru bertemu itu.
Pram mendekati Sintya, “Saya.. Tyas..”
“Maafkan saya, mas. Saya pergi karena saya tak ingin merusak keluarga mas.. tapi, saya tak tahu kalau Tyas.. ah, saya tak tahu Tyas sudah meninggal.. sampai saya mendengar kata – kata yang diucapkan Dinda waktu acara sekolah itu.. saya benar – benar kaget..” Sintya mengucapkan kata – kata itu dengan mata berkaca-kaca. Perasaannya hancur berkeping – keping.
“Kamu tidak salah, saya yang salah.. saya yang melibatkan kamu dengan semua masalah ini.. saya yang tak berhasil menemukanmu..”
“Mas, jangan bilang begitu.. tak ada lagi yang harus disalahkan sekarang..”
Keduanya lalu beradu pandang, ada secercah kesedihan, kehilang dan kebahagiaan yang terpancar di sana.
“Mereka… “ Pram menunjuk Ryan dan Dinda yang memandang mereka dari kejauhan.
Sintya mengangguk, “Ya, mereka adalah anak – anak kita, anak – anak yang manis..” Gumamnya.
“Ya, rahasia Tuhan memang tak bisa kita duga.. “Ucapan syukur mengalir dari mulut Pram. Keduanya mengucapkan syukur tiada henti.

………………………..

Bandara Sukarno Hatta, dua hari kemudian…
Dinda membetulkan kain selendang yang menutupi kepala dan rambut panjangnya dengan rapat. Wajahnya yang pucat tertutupi oleh serinya. Empat orang gadis sebayanya bergantian memeluknya. Mereka adalah keempat sobat Dinda. Anggi menyerahkan handphon mungilnya kepada Dinda. Gadis itu menerimanya dengan senang.
“Makasih ya, semuanya..” jawab Dinda lirih.
Dinda langsung memeluk erat Anggi, Mia, Selly dan Desi, para sahabatnya sekali lagi, dengan perasaan bahagia bercampur sedih. Bahagia, karena semuanya sudah kembali seperti semula, sedih karena akan berpisah dan belum tentu akan bertemu kembali. Anggi, Mia, Selly dan Desy membalas pelukan Dinda. Kelima gadis itu tak kuasa untuk tidak meneteskan air mata.
“Ayo, anak–anak, kita harus pergi sekarang.” Pram menyadarkan mereka akan waktu yang semakin sempit.
Anggi Cs segera melepaskan pelukan mereka. Dinda segera berpaling ke arah lain. Dinda segera menghampiri Fery dan Selvy yang hanya beberapa langkah darinya.
“Fer, makasih atas semuanya, Selv.. maaf ya, kalo gw sempat berburuk sangka sama elo, kapan lu balik lagi ke australi?”
“Sama – sama, Din.. mungkin minggu ini, alhamdulillah, tempat gw dapat beasiswa dulu nawarin beasiswa untuk nerusin kuliah gw juga, doakan aja lancar, biar ntar kalo lu nyusul tahun depan, udah ada yang bantu lo di sana.. ” ujar Selvy dan langsung memeluk Dinda. Dinda membalas pelukan itu dengan hangat.
Fery menyalami Dinda dengan canggung. Dinda menyambut uluran tangannya dengan menelungkupkan kedua tangannya di dada, seperti salaman ala sunda. Zahra memandang Dinda dengan tersenyum (karena yang ngajarin Dinda Zahra lho, termasuk kerudung yang sekarang menempel di kepala Dinda!)
“Ok, Hati – hati ya, Din. Oh, ya.. Yan, jaga Dinda baik – baik ya!” ucap Fery setengah berteriak ke arah Ryan. Ryan balas mengacungkan jempol, lalu bergegas memeluk Fery, “Sorry ya, gw sempat ngatain lu yang enggak – enggak..”ujar Ryan.
“Ah, justru gw yang harus minta maaf, jaga Dinda baik – baik ya, gw tahu cuma lu mengerti dia Yan, kayaknya gw harus belajar banyak nih dari elo sebelum gw jadi ipar lu...” Fery menepuk – nepuk punggung Ryan.
Semua yang hadir terbelalak, termasuk Dinda dan Zahra. Mereka semua serentak berseru, “Ipar?! Ngincer kakak atau adeknya?”.
Muka Dinda dan Zahra seketika itu juga berubah merah. Keduanya tertawa. Semua ikut tertawa.
Dinda, Pram, Anggi Cs, tante Tari dan Sintya memandang pemandangan itu dengan geleng – geleng kepala.
Dinda lalu berpaling pada Sintya, “I.. ibu.. jaga kesehatan baik – baik ya, doakan Dinda..” ujar Dinda dengan gugup, lalu berpaling pada Zahra, “Ra, jaga ibu baik – baik ya..”.
Zahra mengangguk, lalu memeluk Dinda. Sintya tak kuasa menahan air matanya. Ia memeluk gadis yang baru beberapa dua hari memanggilnya dengan sebutan ibu itu dengan perasaan sayang.
“Ibu pasti doakan, nak.. “ ucapnya, membiarkan gadis itu tetap memeluknya untuk beberapa saat.
Selang beberapa detik kemudian, terdengar pengumuman untuk nomor pesawat yang akan mereka tumpangi. Dinda mencium tangan wanita itu dengan takzim. Ryan mengikuti.
“Mas, saya titip Ryan..” ucapnya sembari memandang Pram. Pram mengangguk, lalu mengulurkan tangan, sebagai salam perpisahan.
Pram dan Ryan lalu membimbing Dinda meninggalkan ruang tunggu, diikuti tante Tari. Semua menatap pemandangan itu dengan perasaan sedih, cemas, dan penuh harap. akankah waktu masih berkenan mempertemukan mereka kembali ataukah justru menjadikan pertemuan ini pertemuan terakhir? Entahlah! Tak ada yang berani memastikan dan memberi jawaban, hanya waktu yang bisa memberikan jawaban atas semua rahasia di dunia ini...

……THE END….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar