masak

Jumat, 18 Juni 2010

RB - Bagian Sembilan

Rumah sakit Cipto, beberapa jam setelah kecelakaan Pram..

Dinda masih terpaku menatap wajah ayahnya yang dibalut perban yang masih menyisakan bercak merah darah yang terbaring beberapa meter di depannya. Tangan Gadis itu menggenggam seikat bunga yang bertuliskan namanya. Mulut gadis itu tak henti – hentinya berbicara, walaupun sosok yang diajaknya bicara tak juga menjawab.
“Ayah, makasih bunganya. Dinda baru tahu kalau ayah sebenarnya sayang banget sama Dinda.. maafin Dinda yah, harusnya Dinda bisa jagain Ayah. Dinda tau, Ayah juga kesepian, sama seperti Dinda setelah bunda pergi ninggalin kita.. yah, ayah harus tau, Dinda sayang sama ayah, Dinda nggak mau ayah ninggalin Dinda, ayah harus berusaha untuk hidup, sama kayak Dinda! Ayah nggak boleh ninggalin Dinda, Nggak boleh..” Ucap Dinda serak. Air mata membanjiri matanya yang tampak membengkak karena menangis semalaman.
Tangannya menggenggam tangan dingin lelaki yang dicintainya yang terbaring lemah itu. Airmata mengalir deras di sela – sela suara seraknya yang semakin habis. Dua hari sudah ayahnya terbaring, tanpa menunjukkan perubahan apa – apa. Seandainya bisa, sungguh ingin rasanya Dinda menggantikan tubuh itu berbaring di sana itu..
“Maaf, non Dinda..”
“Ya, mbok?”
“Anu.. ada .. ada temannya di luar, mbok suruh masuk atau tunggu aja?” suara mbok Yana membuat Dinda menoleh. Gadis itu mengusap airmatanya, “ Siapa mbok? Kalau Cuma satu atau dua orang, suruh masuk aja, Mbok.” jawab Dinda. Mbok Yana mengangkat bahu, lalu kembali keluar.
Teman. Siapa yang masih mengakuinya sebagai teman setelah semua ini terjadi? Apakah itu Anggi Cs yang kembali setelah pergi meninggalkannya begitu saja sejak saat itu? Ataukah Fery, yang langsung berubah drastis setelah semua yang dialaminya?
Ah, Fery.. perih sekali rasanya hati Dinda ketika mengingat nama itu. Dulu, sebelum semua ini terjadi sosok Fery adalah teman terbaik di mata Dinda. Fery yang selalu menyanjungnya dan dapat membuatnya melupakan segala resah. Memang seharusnya Dinda tidak berprasangka, tapi bukankah kenyataan bahwa Fery memang menghilang dari kehidupannya sejak berita tentang dirinya yang mengidap tebece menyebar di sekolah itu?
“Assalamualaikum..” Dinda reflek menoleh ke asal suara di belakangnya. Sosok tegap Ryan berdiri di sana. Di sampingnya berdiri seorang gadis manis berkerudung rapi, usianya kira – kira tiga belas atau empat belas tahun, tiga atau empat tahun lebih muda dari cowok itu.
“Eh, wa’alaikum salam. Kamu.. Kok kamu tau aku ada di sini? Dan dia?” Tanya Dinda sejenak mengalihkan perhatian dari ayahnya yang terbaring. Matanya beralih ke sosok di samping Ryan.
“Eh, nggak, tadi aku ke rumah kamu, karena sudah tiga hari ini aku nyari kamu di sekolah, tapi kamunya nggak masuk terus, trus kata bu Sami yang jaga, katanya ayah kamu lagi dirawat. Oh ya, ini Zahra adikku.”
Sosok yang disebut Zahra segera mengulurkan tangan, Dinda menyambut uluran tangan itu. Mata mereka berpandangan sejenak. Sesaat Dinda merasa ada sesuatu yang lain pada gadis itu, namun entah apa.
“Gimana keadaan ayah kamu?” Ryan kembali mengagetkan Dinda.
“Ya, seperti yang kamu lihat Yan, ayah masih koma. Aku selalu bicara sama ayah, tapi ayahku tetap nggak ngejawab.”
“Kamu sabar aja ya? Mungkin emang ini ujian buat kamu” ucap Ryan.
Dinda mengangguk. Ya, Dinda juga berharap hal yang sama dengan Ryan dan berdoa semua ini akan segera berlalu dari hidupnya. Bukankah selalu ada ungkapan yang mengatakan bahwa badai pasti akan berlalu ?
“Oh ya, Aku beliin makan ya, kamu ngobrol aja sama adikku ya, sekalian buat mbok yang di depan. Ra, temenin kak Dinda ya!” ujar Ryan.
Zahra mengangguk. Dinda memandang mereka dengan penuh terima kasih, “Makasih Yan, Zahra. Oh ya, Ryan, kamu nggak mau lihat keadaan ayahku dulu?” tanya Dinda dengan nada yang seriang mungkin dan senyum terpaksa.
“O, i.. iya, nanti aja. Setelah beli makan buat kamu.” Ryan gelagapan dan berusaha menutupi rasa gugupnya dengan membalas senyum sebelum ia meninggalkan Dinda. Zahra menatap kepergian kakaknya dengan bingung.
Di sampingnya, Dinda menatap bayangan Ryan yang semakin menjauh dan menghilang di balik tikungan kolidor rumah sakit. ”Ya Allah, kuatkan hatiku menjalani semua ini, jangan biarkan Ayah meninggalkanku saat ini, berilah kekuatan padanya untuk bisa melewati deritanya dan.. Bunda, ya Allah.. Dinda kangen baget sama bunda.” Dinda bergumam dalam hati.
Selanjutnya Dinda larut dalam percakapannya dengan Zahra. Gadis itu, walaupun lebih muda dari pada Dinda, tapi ternyata enak diajak ngobrol dan dewasa. Sedikit banyak Dinda merasakan beban di pundaknya sedikit lebih ringan.

……….…………..

Hari ketiga setelah kecelakaan…
Sosok itu menatap Pram yang terbaring tak berdaya di depannya dengan perasaan tak menentu. Kesal, sedih, kasihan, dan marah bercampur jadi satu di ekspresinya yang kaku. Sebuah photo lama tergenggam di tangannya yang mengepal keras.
“Pram.. atau harus aku panggil papa? papa tiriku, apa kabar? Apa? Kamu nggak kenal aku? Oh, ya! Pantas saja, karena kita ketemu udah lamaaa.. banget!. Aku siapa? Aku anakmu! Anak yang terus menunggumu datang sejak empat belas tahu yang lalu.. ibu? Papa pasti ingin bertanya tentang ibu dan adikku kan? Ibuku masih menunggumu, pa, sampai saat ini..!” sosok itu berhenti sejenak, lalu menyapukan pandangan ke sekitarnya, takut ada yang mendengar kata – katanya.
Sementara itu, sosok yang ditatapnya masih tak bergerak. Ia melanjutkan bicaranya, “Ibuku menunggu siang dan malam, bekerja membanting tulang demi kehidupan kami. Ibuku menuggumu! Aku memang kesal padamu, aku sempat benci, aku sempat ingin kau lenyap saja dari dunia ini. tapi, sekarang tidak, pa! Aku ingin kau sadar, sadar! Hadapi aku!” Sosok itu tergugu menahan isak dan luapan emosinya yang tertahan, “Ya, aku tak tahu alasannya, tapi yang aku tahu, aku tidak menjalani hidup seperti anak lainnya, seperti Dinda misalnya. Hidupku penuh kepahitan, pa, karena itu aku .. aku rasanya tak ingin Dinda.. ”
Sosok itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dari kejauhan terdengar langkah – langkah yang semakin mendekat. Sosok itu segera bangkit dengan terburu – buru, namun berusaha agar tampak wajar. Ia melangkah perlahan menuju pintu. Seorang suster yang berpapasan dengannya di depan pintu tersenyum padanya. Ia membalas senyum itu dengan penuh arti.

Minggu ketiga setelah kecelakaan Pram..
Dinda termagu sendirian di depan kolidor rumah sakit yang dipenuhi semerbak bau obat. Di tangannya tergenggam sebuah buku mungil, buku tabungan. Mobil, surat – surat berharga yang ditinggalkan Ayah untuknya, satu persatu melayang sudah untuk biaya rumah sakit yang tidak sedikit itu. Perusahaan ayahnya tak banyak dapat membantu, karena kondisinyapun sedang sulit. Hanya beberapa kali waktu itu mereka datang menjenguk. Sekarang, tabungan.. Dinda menatap saldo di buku tabungan yang ada di tangannya yang semakin menipis dengan desah napas panjang. Ayah, tolong Dinda ayah..!
“DOR!!”
Hah!! Dinda tersentak kaget. Di depannya Zahra berdiri cengengesan melihat kekagetan gadis itu. Dinda langsung menekuk mukanya jadi delapan, cemberut.
“Assalamu’alaikum. Kakak kok bengong aja? Gimana keadaan oom sekarang?”
“Wa’alaikum salam. Masih sama, belum sadar. Kamu sendirian? Kamu bawa apaan?” Tanya Dinda begitu melihat tangan kanan gadis kecil itu menjinjing sebuah plastik putih.
Zahra tersenyum, lalu mengangsurkan plastik itu kepada Dinda, ”Ada titipan makanan buat kak Dinda, nih!”
Dinda menerima bungkusan itu dengan senyum mengembang. Laper!! Tangan gadis itu langsung membuka kardus nasi itu dengan hati – hati. “Makasih ya, Enak nih kayaknya.. kamu yang masak?”
Senyum Zahra terlihat pudar seketika, Dinda jadi bingung, “Ada apa? Aku salah ngomong ya?” tanya Dinda hati – hati, takut ada yang salah dengan ucapannya.
Zahra menggeleng, memandang Dinda sesaat, lalu “Nggak, iya, itu dari ibuku. Dia yang yang masak buat kamu, aku belum ahli masak..” sahutnya dengan malu – malu.
“Ce ilee.. gitu aja sedih, ntar juga lama – lama kamu pasti bisa. Aku juga belum bisa masak. Ini buat aku?”
“Iya, buat kakak.”
“Emangnya ibu kamu kenal sama aku?”
“Ya, nggak sih, Cuma Kak Ryan yang cerita.”
“Ryan yang cerita?”
“Yup!”
“Kamu tinggal sama siapa aja? Ayah? Adik?”
“Nggak, Cuma sama ibu sama kak Ryan aja kok, aku udah nggak punya ayah dan nggak punya adik.”
Dinda tercenung. Pikirannya berusaha menangkap hikmah yang bisa diambilnya dari perkataan Zahra. Benarkah? Nasib mereka sama. Dinda punya bunda, dan Ryan dan Zahra punya ibu. Selama ini Dinda selalu berpikir betapa malangnya hidupnya tanpa bunda, tapi ternyata masih ada juga yang bernasib malang seperti dirinya? Bukankah seharusnya juga bersyukur masih memiliki Ayah yang tinggal serumah dengannya, meskipun seringkali tak peduli padanya? Dan si Mbok yang perhatian sebagai pengganti bunda? Jadi itukah sebabnya Ryan begitu benci dan kesal sekali mendengar perkataannya waktu malam itu?
“Mungkin kita emang senasib kak, Jodoh kali! He..he..”
Dinda langsung cemberut. “Yeee! ngasal! Ogah ah!”
“Lho, kok?”
“Ogah, emangnya lesbong?”
“Yee, emang jodoh dalam hal nikah aja, cocok temenan juga namanya berjodoh.”
“Ehem!”
Deheman dari belakang mereka membuat keduanya menoleh,“ Udah akrab nih kayaknya.” sapa Ryan.
“Yeee! datang – datang bukannya ucap salam, malah ehem – ehem..” Zahra buru – buru menimpali.
Ryan jadi malu, “Iya, assalamu’alaikum..” ucapnya.
“Wa’alaikumussalam.” koor keduanya.”
“Eh, Yan, Tapi kok kamu tahu bundaku udah meninggal? Aku kan nggak pernah cerita?” Selidik Dinda.
“Ada aja!” hm, lagi – lagi nih anak.
“Huuu..! sok detektifnya kumat deh!” sambung Zahra.
“Jangan – jangan kamu CIA ya? Atau FBI, yang dikasih kerjaan buat mata – matain aku?”
“Yee.. kurang kerjaan amat tuh agen! Emangnya kamu sepenting apa? Putri presiden aja nggak gitu – gitu amat! Ya pokoknya ada deh! mau tau aja!”
Hm… JTAK! Buku kecil yang tadi di tangan Dinda langsung melayang ke kepala cowok itu, membuat cowok itu mengaduh.
“Syukur!! Nih tambah lagi!” Zahra ikut menimpali, sebuah bantal sofa sekarang ada di tangannya, siap melayang.
Ryan buru – buru menghidar dari serangan kedua gadis itu. Namun, jauh di hatinya, Ryan merasa senang bisa membuat Dinda kembali tersenyum, meski ada sesuatu yang tersimpan di balik senyumnya itu. Sejenak semua beban yang tadi ada di kepalanya terlupakan oleh Dinda.
…………………

Bulan kedua setelah kecelakaan Pram…
“Jadi, ayah saya nggak bisa terus dirawat di sini kalau saya nggak bisa bayar biaya sebesar ini dokter? Mengapa sebesar ini dokter?”. Tanya Dinda meyakinkan pendengarannya atas penjelasan dokter yang begitu panjang tadi. Mata gadis itu tak lepas dari sebuah kertas yang bertuliskan nominal yang siapapun pasti akan terbelalak melihatnya.
“Jadi memang begitulah..”
“Tapi kenapa, dokter?”
“Yah, nona, saya rasa nona tahu dan sudah cukup besar dan dewasa untuk mengerti hal – hal seperti ini, perawatan ayah nona itu bukan perawatan biasa, tapi koma! Anda juga pasti pernah dengar kan? dan dana yang nona bayarkan beberapa waktu yang lalu sudah tidak mencukupi untuk biaya perawatan selanjutnya. Pihak rumah sakit sebenarnya sudah berusaha membantu, tapi bantuan yang bisa kami berikan juga terbatas, karena banyak pasien lain yang juga membutuhkan bantuan. Saya rasa anda mengerti, nona.” Dokter Hans mengakhiri pembicaraannya.
“Tapi, bukannya biasanya di setiap rumah sakit ada keringanan untuk orang yang nggak mampu, dok?”
“Ya, mungkin nanti nona bisa tanya di bagian administrasi. Yah, biasanya ada beberapa syarat yang harus dilengkapi dulu.”
“Ya, makasih dokter. Mungkin saya akan coba ke sana.”
Dinda tertunduk sedih. Lalu pamit keluar ruangan.
Dinda bukan hanya mengerti dengan ucapan dokter Hans, tapi juga paham betul apa artinya. Tapi bagaimana mungkin ia bisa mendapatkan uang sebesar puluhan juta itu untuk kelanjutan biaya rumah sakit ayahnya?. Perusahaan tempat ayahnya bekerja tak lagi bisa memberikan dana cash, perhiasan terakhir peninggalan bunda sudah terjual kemarin siang, sementara untuk mencari pekerjaan tanpa ijazah SMU yang seharusnya diperolehnya beberapa bulan lagi? pekerjaan apa yang bisa didapatkan gadis kecil sepertinya di tengah panasnya persaingan ibukota saat ini? Paling berapa sih gaji pegawai lulusan SMU apalagi yang nggak lulus?
Hufh! SMU. Dinda jadi teringat sekolahnya yang terbengkalai dan tentang teman – temannya. Sungguh menyenangkan saat – saat dulu. Tidak seperti sekarang yang sejak peristiwa itu, tak seorangpun dari Anggi, Mia, Selly ataupun Desi yang datang menjenguknya ke rumah sakit ini. jadi bagaimana mungkin ia bisa meminta bantuan? Sedangkan meminta bantuan kepada guru – guru yang sempat beberapa kali datang menjenguk jelas rasanya nggak mungkin, Dinda tahu pasti kondisi ekonomi dan keluarga mereka yang juga pas-pasan karena gaji guru yang kecil. Sementara minta tolong Ryan? Jelas lebih nggak mungkin lagi, karena Dinda tahu Ryan juga harus membantu biaya sekolah Zahra dan bibinya menghidupi dua adik sepupunya yang juga masih sekolah dan kecil – kecil. lalu? Huh! Dahi Dinda semakin mengernyit. Hm, apa ya yang bisa ia lakukan sekarang?
“Din, kamu kenapa?”. teguran Ryan yang baru tiba entah dari mana mengagetkan Dinda.
“Eh, nggak apa – apa. Zahra mana?” Jawab Dinda berbohong.
“Mungkin bentar lagi datang, tadi dia ada les dulu, dia kan udah mau ujian kenaikan kelas.”
“Ow..” mulut Dinda mengerucut.
“Hm.. gitu. oh ya, Ini ada surat dari sekolah kamu, tadi nggak sengaja aku lewat rumah kamu, trus mampir dan mbok Yana ngasih ini.. katanya kamu diperbolehkan ikut ujian akhir, nanti bulan Juni, jadi kamu siapin aja mulai sekarang.”
“Bener, Yan? Aku bisa ujian? Bisa lulus?” Dinda menatap Ryan tak percaya. Ryan mengangguk, ”Bisa ujian, kalo lulus mah tergantung kamu”
Dinda memplototi Ryan dengan jengkel. Ryan langsung salah tingkah.
Sejak kejadian itu Dinda memang sudah tak pernah memikirkan akan masuk sekolah lagi, apalagi yang namanya mengikuti ujian. Bukannya tak ingin, tapi dalam situasi seperti ini?
“Trus, bungkusan itu?” Dinda melirik bungkusan yang dijinjing Ryan.
“Ini ada titipan dari rumah, mbok Yana udah cerita sama aku soal penyakit kamu, trus Mbok Yana nitip ini ke aku, katanya ini ramuan tradisional untuk mengobati tebece, campuran dari bunga tembelekan, akar alang – alang, kencur, gula batu rebus, sama air yang disaring.” jelas Ryan panjang lebar.
“Buat apa?” Dinda bingung.
“Ya buat kamu minum tiap hari.”
“Kamu kan tahu aku paling benci minum jamu? Pahit! ”
“Mau aku suruh Zahra maksa kamu minum?”
Dinda menggeleng dengan cepat. Ryan ketawa melihat ekspresi Dinda yang langsung seperti orang mau muntah, “ Bodo! Kata simbok ini bisa buat nyembuhin tebece, tapi kamu harus minum rutin dua kali sehari, trus katanya ini untuk selanjutnya kamu harus ambil sendiri tiap pagi ke rumah, jelas?”
Dinda mengkerut. Huh.. udah maksa, pahit, pake ngambil sendiri lagi! maunya diambilin! He.. he.. Dinda nyengir.
Tapi sesaat kemudian Dinda kembali terdiam.
Rumah? Oh! Ya.. mengapa tak pernah terpikirkan olehnya selama ini? ia masih memiliki rumah! Tapi, kalau rumah itu ia jual atau sewakan?, bagaimana cara menjelaskan semua ini kepada Ayah nanti? lalu ia akan tinggal dimana? tapi, bukankah yang penting ayah bisa sembuh? Bukankah ia bisa mencari kontrakan kecil dulu, sambil mencari kerja? Apapun akan dikorbankannya untuk ayah! ya, apapun! Termasuk jatah berobatnya yang habis akhir bulan ini.. (Eit, diam – diam ya! ini nggak boleh ketahuan Ryan, lho!)
“Makasih Yan!, tolong jaga Ayahku sebentar ya..! bentar lagi aku balik kok, ok? Nggak pake lama kok, paling cuma beberapa jam. Kalau Zahra datang, suruh nunggu aja, ok?” Dinda mengatupkan kedua tangan di dadanya.
Lalu gadis itu langsung berlari, setelah mengambil dompetnya di laci lemari bangsal tempat ayahnya dirawat, tanpa mempedulikan Ryan yang masih bingung menatap bungkusan dan surat yang masih digenggamnya. Bingung. Makasih? For what? (kan titipannye belom aye kasihin, non!) .

….……bersambung ke bagian sepuluh……………
leve coment y

Tidak ada komentar:

Posting Komentar