masak

Rabu, 16 Juni 2010

RB - Bagian Tujuh

Senja Kelabu di hari yang sama…

Hari sudah menjelang senja. Gerimispun mulai mengguyur ibukota Jakarta. Dinda berjalan dengan gontai seorang diri tanpa tujuan di jalan raya yang mulai dipadati pedagang asongan. Seragam sekolahnya tampak mulai basah, lusuh dan lecek. Air mata masih mengalir deras dari pipinya, seperti tak habis – habisnya sejak tadi pagi. Bersamaan dengan gerimis yang semakin deras.

Hancur sudah semua harapannya. Siapa sangka semua akan seperti ini? dalam sekejap, ia telah kehilangan semuanya. Jalan hidupnya, prestasi, semangat hidup, kehangatan dan kebersamaan dari para sahabat yang selama ini menjadi motivasi untuknya untuk segera sembuh, yang menjadi pendorong semangat hidupnya, kini semua telah meninggalkannya. Membawa semangat hidupnya, membawa semua harapannya. Sekarang, bagaimana mungkin ia bisa berusaha untuk terus hidup tanpa mereka semua? Bagaimana mungkin ia bisa bertahan hidup? Untuk apa ia bertahan lagi? Untuk siapa lagi ia harus bertahan hidup?

Tak ada lagi yang bisa diharapkan. Cita – cita dan usaha yang akhirnya menjadi usaha yang sia – sia dan kandas dalam sekejap. Mimpi – mimpi yang berakhir dengan mimpi buruk. Oh, bunda.. seandainya Bunda masih ada, tentunya ia tidak akan semenderita dan seterluka ini. Bunda pasti akan langsung memeluknya, menghiburnya, dan tak akan membiarkan bidadari kecilnya ini menangis dan bersedih. Bunda tak akan membiarkannya meneteskan air mata barang setetespun dan larut dalam kepedihan ini. ..

Tapi, perempuan terkasih itupun telah meninggalkannya ketika ia masih berumur empat tahun. Kecelakaan mobil yang dikendarainya waktu itu telah merenggut hidupnya. Ah, umur.. siapa yang akan tahu?

Ayah. Ah, entahlah. Sosok itu terlalu susah untuk didekati Dinda sekarang. Sejak Bunda meninggal, Ayah selalu pergi sebelum Dinda bangun, dan pulang setelah Dinda tidur. Ayah yang dulu selalu memanggilnya dengan sebutan “bidadari kecilku” itu tak pernah lagi mengajak Dinda kecil pergi untuk jalan – jalan di hari libur, Ayah tak pernah lagi tersenyum pada Dinda, apalagi untuk mendengarkan cerita sedihnya ataupun menangis di pelukannya ketika gadis kecil itu beriba hati karena semua ibu teman - temannya datang ke acara sekolah. Ayah seperti sudah lupa kalau di rumah masih ada Dinda kecil yang kesepian dan tiba - tiba..

“Awas..!! “BRAAAKK!

Sebuah teriakan dan bunyi sesuatu yang jatuh membuat semua yang ada di pikiran Dinda luluh lantak. Langkah gadis itu langsung terhenti dan terlonjak kaget. Terlebih lagi ketika sadar bahwa ia ternyata sedang berhenti di tengah jalan!. Bajunya sudah basah karena hujan yang semakin deras. Dinda bergegas menepi.

Seorang pengendara motor tampak sedang berusaha membangunkan motornya yang terjelembab di antara semak – semak. Jas hujan membalut tubuhnya. Pengendara motor yang sudah berhasil membangunkan motornya itu segera membuka helmnya, lalu bergegas menghampiri Dinda yang masih terdiam di pinggir jalan dengan wajah kaget dan penuh kekesalan yang hampir meledak – ledak.

“Hei, kamu udah bosen hidup ya?! Hujan – hujan begini kok malah jalan di tengah jalan. memang sudah siap mati? Alhamdulillah kamu nggak ketabrak, tapi Coba kalo ketabrak? Na’uzubillah..” bentaknya kepada Dinda.

Dinda menatap pengendara motor itu tanpa ekspresi, “ Tabrak aja sekalian.” ucapnya dingin.

Pengendara motor itu terperangah mendengar ucapan Dinda, “Apa?! Kamu jangan ngaco ya, emang kamu udah nggak mau hidup? Udah punya bekal apa kamu buat mati? Seharusnya kamu bersyukur karena Allah udah ngasih kamu kesempatan untuk hidup! Kamu tahu seberapa banyak orang yang ingin tetap hidup? Seberapa banyak orang yang berusaha untuk tetap hidup? Apa kamu nggak pernah mikir gimana nanti orang – orang di sekitar kamu akan menderita kehilangan kamu?” lalu, apa kamu pikir semua masalah kamu akan selesai dengan kematian? Bukan kesenangan yang akan kamu dapat, tapi dosa!” ujar pemuda itu. Huh! Udah bikin jatuh orang, bukannya minta maaf, eh malah bikin kesel!, gerutu pemuda itu. Kesal.

“Apa bedanya mati sekarang atau nanti? toh aku juga nggak akan bertahan lama, nggak akan ada yang akan merasa kehilangan.” Ucap gadis itu sinis di balik kerapuhan yang terpancar dari tatapan matanya. Butiran – butiran kembali mengalir dari matanya yang menatap ke depan dengan pandangan kosong.

Pengendara motor itu terperangah mendengar ucapan dan reaksi gadis di depannya itu. Wajah galaknya terlihat berubah. pandangannya sudah sedikit melembut, walau masih terlihat kesal. Aneh!

“Ok, nona yang nggak tau arti hidup, nama aku Ryan. Walaupun tidak seharusnya aku ikut campur urusan kamu, tapi Aku akan antar kamu pulang, nggak baik perempuan kayak kamu masih ada di jalan udah hampir malam gini, apalagi dengan kondisi kayak gini, ok?” cowok yang memperkenalkan dirinya bernama Ryan itu kembali menstarter motornya. Dinda masih terdiam di tempatnya.

“Ok, kalo kamu nggak mau jawab siapa namamu nggak apa – apa? Tapi tolong kasih tau kemana aku harus nganterin kamu. Tolong hargailah sedikit hidup yang udah dikasih tuhan sama kamu. Nih, Pakai! Ayo!” Ryan melepas jas hujan yang dipakainya, lalu mengangsurkannya kepada Dinda dengan canggung. Ia sendiri kini hanya mengenakan sweater.

Tak ada kata – kata yang terucap dari bibir Dinda yang semakin memucat, tapi gadis itu menurut. Hujan semakin deras ketika motor itu terus melaju. Membawa kepedihan di hati Dinda yang semakin mengiris, membuat hatinya semakin terluka. Pedih.

………………………..

Dinda memberi isyarat kepada Ryan, si pengendara motor itu, untuk berhenti di depan sebuah rumah megah yang masih terang benderang. Gadis itu lalu turun, lalu melangkah menuju gerbang, setelah mengucapkan sepatah kata terima kasih.

Ryan memandang punggung gadis itu dari kejauhan dengan perasaan sedih, kesal, bingung dan penuh kasihan, terlebih lagi saat ia memandang rumah megah di depannya. Ada banyak hal yang tak ia mengerti. Ya, Dinda, mungkin gadis itu memang tak pernah mengenalnya, tapi ia tahu persis siapa Dinda.

“Ah, Sudahlah. Aku kan harus cepat pulang, kasihan ibu dan Zahra di rumah, mereka pasti menungguku.” desah Ryan.

Ia lalu bergegas menghidupkan motornya kembali. Bayangan menghilang dalam kegelapan pekatnya malam dan hujan yang tak juga mereda meredam panasnya ibukota.

Sementara itu di rumah..

Dinda langsung disambut dengan tatapan khawatir oleh mbok Yana, perempuan yang sudah hampir lanjut usia yang hampir selama hidupnya dihabiskan untuk bekerja di rumah Pak Pram, ayah Dinda. Tubuh lemah Dinda yang sesegukan menahan tangis. Ia tampak sangat rapuh. Gadis itu langsung memeluk pemilik wajah yang sudah mulai keriput itu, seperti anak kecil kepada ibu yang sudah bertahun – tahun tak bertemu.

Tanpa bertanya, mbok Yana segera memapah tubuh lemah Dinda ke kamar di lantai dua. Lalu dengan sigap ia mencari baju ganti dan membuatkan segelas susu hangat dan memberikannya pada Dinda.

Dinda tak mampu lagi menghabiskan setengah susu di gelasnya. Membuat mbok Yana yang duduk di samping tempat tidur Dinda dari tadi itu memandang Dinda dengan penuh perasaan iba.

“Non, non tadi dari mana hujan – hujan? Mbok khawatir tadi, udah malem non Dinda belum pulang juga, trus Mbok suruh pak Maman ngeliat lagi ke sekolah, eh katanya non udah pulang dari sore…”.

“Dinda nggak kemana – mana kok, mbok.”

“Tapi kok pulang – pulang basah kuyup begini, nanti non sakit lagi! Non kan nggak boleh kena udara dingin, apalagi hujan – hujanan kayak gini!”

“Dinda nggak apa – apa mbok. Oh, ya, Ayah kemana ya Mbok? “ tanya Dinda parau.

“Tuan belum pulang non, mungkin nanti kalau sudah malam baru pulang, emang kenapa non?” jawab perempuan asli jawa itu.

Dinda terdiam.

Ayah. Sampai saat ini Dinda tak mengerti, sejak bunda meninggal, seperti tak ada lagi waktu yang tersisa untuknya. Apa ayah lupa kalau masih ada Dinda yang menunggu kepulangannya?

“Coba ya Mbok kalo bunda masih hidup, mungkin rumah ini nggak sesepi ini. Kalau Dinda sakit, pasti bunda nemenin, ngobatin.. Dinda kangen Mbok sama bunda, kapan ya Dinda bisa ketemu Bunda..”. air mata semakin deras mengalir di pipi Dinda. Matanya menerawang jauh. Tatapannya kosong.

Mbok Yana tak kuasa untuk tidak meneteskan air mata mendengar ucapan Dinda. Hatinya terasa ikut teriris – iris dan sedih.

“Non, udah.. jangan bikin Mbok tambah sedih, sekarang mbok yang akan nemenin non, non jangan ngomong begitu, bunda non juga pasti pengen ngeliat non seneng, bahagia. Kalau rajin berdo’a, gusti Allah pasti mendengarkan do’a kita, non pasti sembuh, non pasti sehat lagi, trus nanti punya keluarga yang bahagia.. mbok yakin, pasti itu juga yang diinginkan almarhum Nyonya.”

“Mbok, apa ayah masih ingat ya sama bunda?”

“Kok non ngomong begitu?”

“Ya.. Dinda juga nggak tahu, tiba – tiba aja pikiran itu melintas di kepala Dinda. Jangan – jangan ayah udah lupa sama bunda, makanya jadi jarang merhatiin Dinda.”

“Nggak, non. Mbok tahu bagaimana sifat tuan. Dia suka memendam sendiri perasaannya. Mbok sering lihat tuan memandangi photo Nyonya, photo Non juga.. mungkin bukan dia nggak memperhatikan non, nggak sayang sama non, tapi.. dia hanya ingin menyembunyikan kesedihannya dari Non. Non mengerti kan?”

Dinda mengangguk. Mbok Yana memeluk gadis yang sudah sejak kecil diasuhnya itu. membiarkan Dinda menghabiskan sisa tangis di pelukannya.

Mbok Yana mengusap kepala Dinda dengan penuh kasih sayang. Keduanya larut dalam berbagi kepedihan. Dinda adalah amanat Nyonya sebelum ia meninggal yang sudah menjadi bagian dari jiwanya, karena itu, bagaimanapun ia tak sanggup melihat Dinda bersedih. Tak bisa!

“Non, minum obat ya? Kan kata dokter obatnya nggak boleh putus, Mbok ambilkan obatnya ya? Kalau non rajin minum obat, trus rajin berdoa sama Tuhan, pasti bisa sembuh..”

Dinda mengangguk. Mbok Yana segera membuka laci meja rias, lalu mengeluarkan mengeluarkan sebuah kantong yang bertuliskan nama sebuah klinik sebuah rumah sakit besar di kota Jakarta yang berisi beberapa macam obat, lalu membukakannya satu per satu dan mengangsurkannya lima jenis tablet obat kepada Dinda. Dinda menerima obat itu dengan tangan gemetar dan meneguknya bersamaan dengan gelas air putih yang diangsurkan mbok Yana satu demi satu.

“Non udah makan belum? Tadi mbok bikinin rendang kesukaan non, makan ya? Atau mbok bawain ke sini ya?”

“Bawa ke sini aja mbok. Tapi, mbok juga ikut makan ya?”

Mbok Yana mengangguk, lalu bergegas meninggalkan kamar itu dan kembali membawa nasi dan lauk – pauk.

Suasana malam itu begitu sepi dan sunyi, hanya suara piring dan sendok yang beradu yang sesekali terdengar memecah kesunyian. Gerimis masih turun rintik – rintik.

……………………….

21.00 WIB, di hari yang sama, kawasan Kuningan, Jakarta…

Hujan masih turun rintik – rintik. Basemen tempat parkir gedung perkantoran itu mulai sep. Satu persatu mobil yang tadinya berderet rapi mulai meninggalkan arena parkir, hingga hanya menyisakan beberapa buah mobil saja. Fery melirik arloji yang melingkar di tangannya dengan gelisah. Sesekali matanya melihat berkeliling, mencari sosok yang ditunggunya sejak setengah jam yang lalu. Kemana lelaki itu, harusnya jam segini dia udah pulang, tapi udah malam begini kenapa belum pulang juga?

Huh! Malam ini lelaki itu akan merasakan bagaimana rasanya mati kecelakaan seperti papa! Fery tak akan pernah lupa wajah lelaki yang telah menabrak mobil sedan papanya dan membuatnya dan adik semata wayangnya untuk kehilangan papa untuk selama – lamanya. Yah, laki – laki itu adalah Pram, Ayah kandung gadis itu. Dinda!

Dan Dinda? Dada Fery langsung bergemuruh. Sebetulnya Fery merasa kasihan dengan gadis istimewa yang menarik hatinya itu. sungguh, tak tega rasanya melihat gadis itu menderita, tapi dendamnya terlau besar dibandingkan rasa kasihannya. Dendamnya terlalu besar menutupi perasaan sukanya terhadap gadis itu. Peristiwa belasan tahun yang lalu itu masih membekas jelas di hatinya. Jadi, gadispun itu harus merasakan perasaan seperti yang dirasakannya empat belas tahun yang lalu, gadis itu harus ikut menanggung akibat perbuatan papanya juga!. Harus!

Dada Fery semakin bergemuruh dan berdebar semakin dahsyat ketika dari kejauhan, Pram berjalan menuju tempat mobinya di parkirkan. Seikat bunga beraneka warna yang berhiaskan dengan pita tergenggam di tangan kirinya. Terlihat jelas sebuah tulisan tertera di sanaUntuk Dinda, my little Princess

Dinda, ya, hari ini Pram sengaja memesan seikat bunga ini sebagai ucapan selamat untuk Dinda dan sebagai permintaan maafnya atas kejadian dua hari yang lalu karena tak bisa hadir di acara sekolah Dinda. Ah, sudah lama sebenarnya Pram ingin meminta maaf, tapi baru kali ini baru kesampaian, “Mudah – mudahan gadis kecilnya itu belum tidur saat aku pulang nanti.” gumam lelaki setengah baya itu lirih, lalu melesat pergi meninggalkan tempat parker perkantoran itu.

Baru beberapa kilometer kemudian dari kawasan kuningan Pram menghentikan mobilnya mendadak. Fery ikut berhenti sesaat beberapa meter di depan mobil Pram. Dadanya bergemuruh lebih dahsyat. Pikirannya kembali saling berperang dan berkecamuk bimbang mulai menguasai hatinya. Kata – kata yang saling bertentangan mulai berterbangan, berebut mendominasi pikirannya. Lakukan! Tidak! Lakukan!. Sekaranglah saatnya Fer! Kapan lagi ada kesempatan seperti ini?

Pram turun dari mobil. Oh, Shit! Kempes!. Pram bergegas membuka bagasi, mencoba mencari kalau – kalau ada sebuah dongkrak di sana. Namun, lama mengaduk – aduk isi bagasi, tak ditemukannya benda yang biasanya tak pernah ketinggalan itu di sana.

Pram bergegas kembali ke dalam mobil dan kembali dengan handpon di tangannya. Ia berusaha menghubungi seseorang, sambil menyetop mobil atau taksi kalau – kalau ada yang lewat.. Tapi, baru beberapa langkah berjalan, tampak sebuah mobil melesat dengan kecepatan penuh kearahnya. Pram yang tadinya senang akan mendapatkan tumpangan, mulai gelagapan ketika mobil berwarna mencolok itu hanya tinggal beberapa meter dari tempatnya berdiri dan tidak menunjukkan tanda – tanda akan berhenti.

Pram berusaha melompat, sedapat mungkin menghindar. Tapi.. terlambat.

BRAKKKK!

Pram terpelanting. Sosok itu berusaha untuk bangkit, namun darah yang mengucur dengan deras dari kepalanya membuat kepalanya berkunang – kunang dan terasa amat berat dan gelap. Pram tak sadarkan diri!

Beberapa detik kemudian..

Tak jauh dari sana, Fery tak berhenti – berhentinya mengutuk dan memaki dirinya sendiri dalam hati. Ia tampak begitu menyesali apa yang telah ia lakukan. Sungguh, ini adalah sebuah perbuatan pengecut dan penakut! Pikirannya mulai berkecamuk tak karuan. Berbagai ketakutan mulai menguasai hatinya, sampai akhirnya sebuah mobil melintas melewatinya dengan kecepatan tinggi. Fery tersadar dan langsung langsung tancap gas dan menghilang dalam kegelapan malam membawa rasa takut yang kian menyergap hatinya.

………bersambung ke bagian delapan…………..

yg baca leave comment ya...:-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar