masak

Minggu, 06 Juni 2010

RB - Bagian satu

Jakarta,Pertengahan Januari, 2005…

Mentari belum terlalu condong ke ufuk barat, menandakan hari masih belum terlalu sore. Berbagai macam jenis dan merek mobil berderet dengan rapi di sepanjang jalan itu. Hiruk- pikuk bunyi klakson dari mobil-mobil yang pengemudinya tak sabaran ikut meramaikan kacaunya suasana di jalan itu. Diantaranya termasuk seorang gadis muda yang masih berusia belasan tahun.
Dinda, gadis itu mengemudikan sedan silvernya dengan hati – hati dan perlahan, mengikuti arus kendaraan yang padat hingga luber ke bahu jalan. Seragam putih abu – abu masih membalut tubuhnya. Matanya menerawang jauh, seakan tak terpengaruh dengan kemacetan lalu lintas yang tak kunjung habis – habisnya itu. Ada pancaran resah dan galau di sana. Sesekali matanya melirik amplop coklat bertuliskan ‘laboratorium radiologi’ yang tergeletak di jok coklat empuk di sampingnya. Hatinya gundah.
“Mengapa aku harus menerima amplop coklat itu? Mengapa aku yang harus mengalami semua ini? aku tak pernah menginginkan ini ya, Tuhan.. kenapa tidak…” batin Dinda menjerit ingin melepaskan beban berat di kepalanya.
Rrrrr! Rrrrr!.
Dinda tersadar dan terlonjak ketika handphon mungil di sakunya bergetar. Sebuah nomor tak dikenal tertera di layarnya. Tangannya segera terulur untuk mengambil dan segera menekan tombol “yes” pada benda mungil itu.
“Halo, siapa nih?”sapa Dinda riang, berusaha membuat suaranya setenang mungkin.
“Din, ini gw, Anggi.” sahut suara dari seberang.
“Lu ganti nomer lagi, Nggi?”.
“Yo’i..”
Anggi adalah teman sekelas Dinda yang paling dekat dengannya, hobbinya emang gonta – ganti Handphone dan simcard. Maklum, Anggi juga anak seorang pengusaha yang kaya raya yang sukses. Jadi, jangan heran kalau ada telpon, dan yang ngomong Anggi lagi dan Anggi lagi!
“Ya, kenapa non, tumben nelpon gw? Uhuk uhuk!” ucap Dinda sembari menutup mulutnya dengan sapu tangan. Duh! batuk lagi!
“Din, lu sakit ya? Kok batuk – batuk sih?,” Anggi curiga,“Tapi, kalo gitu mah lu istirahat aja, kita juga nggak maksa kok, Din.”cegah Anggi buru - buru. Dinda jadi tak enak hati mendengarnya.
“Nggak kok, Nggi..” Jawab Dinda.
“Bener?” Anggi ragu.
Dinda mengangguk, lalu “Suwer, gw nggak apa – apa, ada apa tadi?” Dinda mengalihkan pembicaraan.
“Sekarang lu di mana? Ntar jam tujuh gw sama anak – anak jemput lu ya, jangan telat lho!” Anggi mewanti – wanti.
“Jemput? “kening Dinda berkulit putih itu mengkerut, “Bentar lagi nyampe rumah, emang pada mo kemana sih? Emang ada acara apaan lagi Nggi malem ini?”.tanya Dinda bingung. Kening gadis itu mengkerut seperti berpikir.
Anggi ketawa, “ Ih, lu mah.. masak sih lupa? hari ini kan ulang tahunnya Fery?”
“Fery? Fery siapa?”. Dinda Heran.
Anggi tertawa lagi mendengar pertanyaan Dinda “Ih, Fery, itu lho, Din, mantan kapten basket dan ketua OSIS sekolah kita tiga tahun lalu. Masak lu nggak tau sih?”
“Apa? Pengamen yang main basket pakai tangga, trus jatuh?” Dinda pura-pura tulalit. Anggi menghela napas kesal.
“Ih, lu kok tulalit ya sekarang?” Anggi sewot.
“Ih, enak aja! Swear, gw nggak tau!”
“Itu lho.. Fery.. Fery.. ih, nih anak!”
“Kemaren Dani, trus Gery, trus Tio, trus Andri, nah ini siapa lagi sih? heran deh sama lu pada! kok nggak ada habis-habisnya ya?”
“Udah deh, pokoknya keren abis deh Din! Dianya mau kenal sama lu, makanya, lu sih kabur mulu belakangan ini.”
“So, what, Nggi?”
“So what - so What, sewot kalee..!! udah deh! jangan banyak tanya, jam tujuh teng! Ok?”
“Eh, iya deh! gw tunggu ya, bisa aja deh lu!” Dinda akhirnya meng-iyakan dengan ragu – ragu.
Anggi tersenyum mendengar jawaban Dinda. Ia bersorak dalam hati. Yes! Sukses!
“Ok Nggi, bye..”
Dinda menutup telpon dengan gusar. Dinda sebenarnya bukan sengaja menghilang dari peredaran alias melupakan teman dengan tidak mengikuti acara – acara teman – temannya belakangan ini, tapi selama ini Dinda memang lagi nggak ada waktu! Sibuk? Memang sih, sibuk bolak – balik ke rumah sakit tanpa sepengetahuan Anggi and the gank!
Huh! Dinda jadi bingung. Hatinya jadi bimbang. Berbagai macam pertanyaan mulai mengusiknya. “Apa aku harus tetap pergi, sedangkan amplop coklat itu… tapi kalau aku nggak pergi, berarti… ah, sudahlah, pergi atau tidak itu urusan nanti. Sekarang yang penting adalah sampai di rumah secepatnya, capek!”
Sedan itu melaju lebih cepat menembus keramaian ibu kota Jakarta yang semakin panas dan penuh dengan polusi. Blas!
……………………


“Assalamu’alaikum!” ucap Dinda begitu memasuki rumah.
“Wa’alaikum salam! eh, non udah pulang?” jawab Mbok Yana, wanita setengah baya, yang ketika sedang membersihkan lemari es. Wanita itupun lalu bergegas menyambut majikannya.
“Udah mbok.” Jawab Dinda, lalu langsung menuju kamar dan langsung merebahkan tubuh setelah meneguk segelas air putih yang tergeletak di atas meja belajarnya.
Dinda menghela napas panjang. Selama beberapa minggu ini kondisi tubuhnya memang menurun dan mudah sekali merasa capek atau terkadang tubuhnya agak demam dan berkeringat di malam hari, dan terkadang batuk kecil ikut menyelingi. Beberapa kali Anggi, Mia, Selly dan Desi mengajaknya untuk konsultasi ke dokter, tapi semua tak dihiraukan oleh Dinda. Pikirannya selalu optimis kalau batuk atau demam itu adalah hal biasa kalau menjelang pergantian musim. Toh, nanti juga sembuh dengan sendirinya, Dinda berkilah.
Itu dulu, dan sekarang? siapa yang tahu anggapan itu benar atau salah? Tiga minggu sejak saat itu, Dinda akhirnya memberanikan diri untuk memeriksakan diri ke dokter. Dan siapa sangka jawaban Dokter dan hasil pemeriksaan mantaoux, hasil rontgen, serta hasil pemeriksaan dahak selama tiga hari tadi pagi itu telah mencabik hatinya. Dinda sungguh terkejut setengah mati!
Bagaimana tidak? TBC alias tubercolosis, sebuah penyakit yang disebabkan oleh mycobacterium tubercolosis yang tak pernah terlintas di kepalanya selama ini, bahkan seumur hidupnya sekalipun. Ya, karena biasanya yang ia tahu, hanya orang – orang yang bergelut dengan rokok dan hidup kekurangan yang banyak mengidap penyakit itu, tepatnya penyakit orang miskin! Mustahil, bagi ia yang hidup berkecukupan dan jauh dari kekurangan gizi! Ataupun kalau orang kaya, pastilah ia seorang perokok berat.
Pikiran Dinda mengembara mencari jawaban dari semua pertanyaan yang ada di kepalanya,” Ya Tuhan.. kenapa harus aku yang harus mengalami ini semua? Apa salahku sehingga ia harus mendapat penyakit yang memang kelihatannya baik – baik saja itu tapi bisa membunuh secara perlahan itu? kenapa harus aku..? aku tak bersalah, Tuhan..” Dinda bertanya dalam hati. Dadanya terasa sesak menahan beban. Pusing!
Dinda mencoba mencari jawaban. Kata – kata dokter tadi masih terngiang di kepalanya.
“Saya terus terang juga heran mengapa kamu yang masih muda, berkecukupan, dan terlihat sehat bisa mengidap penyakit ini. Dugaan saya, pertama, kamu tertular dari orang lain. Kedua, kamu tinggal di sekitar para perokok. Ketiga, mungkin dari radang paru – paru yang sudah lama dan akhirnya berkembang menjadi tebe.”
Air mata mulai mengalir deras di pipinya. Pikirannya masih mencari sekeping salah yang membuatnya menerima hasil rontgen, tes dahak dan tes mantoux di amplop coklat itu. Tapi apa? Apa yang membuatnya menderita seperti ini?
Dinda termenung. Dinda mencoba mengingat masa lalu. Selama ini kalau gaya hidup memang tak jauh berbeda dengan gaya hidup teman - teman se-Ganknya yang memang rata - rata orang berada yang suka party, cafe, dan acara serupa lainnya, tapi Dinda berani memastikan bahwa sekalipun ia tak pernah menyentuh benda yang namanya rokok atau apa saja lah namanya yang bisa menyebabkan penyakit maut itu datang menghampirinya!
Dinda menangis. Mulutnya terus menggumam kata – kata dengan lirih, ”Mengapa harus aku yang memiliki keadaan seperti ini? Mengapa bukan teman – temanku para pecandu rokok yang tak punya perasaan ketika dengan cueknya merokok di tempat – tempat umum itu? yang tak pernah berpikir tentang perasaan orang – orang sekitarnya yang kadang merasa sesak napas karena asapnya itu? Mengapa bukan para perokok yang berkeliaran di sekitarku? Sekarang apa yang harus aku lakukan? Bagaimana kalau semua teman – teman tahu soal ini? Aku nggak mau hidup sendirian dengan penyakit ini, aku nggak mau sendirian, ya Allah..!” isak Dinda.
Pikiran – pikiran yang dipenuhi ketakutan dan kekesalan membuat kepala Dinda terasa semakin berputar. Kesal. Tapi siapa yang harus di salahkan? Tuhan? Tidak, itu tidak tepat. Sebuah amplop coklat masih tergeletak di sampingnya. Semua begitu berat, berat, dan berat. Lebih berat daripada menahan kelopak matanya yang tak kuasa ditahannya untuk tidak terpejam. Ia terlelap dengan berselimutkan sejuta pertanyaan.

…………bersambung ke bagian dua………..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar