masak

Selasa, 22 Juni 2010

RB - Bagian Empat Belas

Dinda menyandarkan punggungnya di dinding ruangan sempit itu. Mukanya tampak agak pucat dan lelah. Dilapnya keringat yang bercucuran di wajahnya dengan sehelai handuk kecil yang dikeluarkannya dari tas kecil bawaannya. Pegal. Tamu restoran hari ini banyak sekali, sehingga ia dan karyawan lainnya merasa kewalahan melayani.

“Capek, Din?” tanya Nana, rekan seprofesinya.

“Yah, lumayan.” Jawab Dinda.

“Yah, ginilah Din kerja di sini, nggak kayak di kantoran, kerjanya Cuma duduk doang, nggak capek dan udah gitu gajinya gede lagi!”

“Ah, tapi otaknya kan capek juga mikir!” Dinda tak mau kalah.

“Ya, tapi kan nggak secapek kita, udah pake otot, capek lagi mikir..”

“Lho, emang mikirin apaan Na, kan yang mikirin nasib restorannya si bos, menu makanan dan minumannya juga urusan atas, emang kita capek mirin apa?” tanya Dinda penasaran. Nana mengernyitkan dahi. Mulutnya menganga, seperti sedang mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Tapi..

“Capek mikirin gaji yang kecil! kira – kira cukup nggak ya, buat sampai akhir bulan.” Ujar Agus yang muncul tiba – tiba dari dapur, tanpa diduga oleh Nana.

Nana langsung cemberut. Dinda tersenyum, “Ah, kalian ada-ada aja, udah ah! makan yuk, laper nih!” Dinda menepuk - nepuk perutnya, lalu mengeluarkan kotak bekalnya. Agus dan Nana melakukan hal yang sama.

“Eh, Na..”

“Ha?”jawab Nana dengan mulut yang penuh nasi. Melihat hal itu Dinda tak jadi meneruskan kalimatnya dan menunggu gadis itu menelan semua nasi yang ada di mulutnya.

“Aha ci? Gadi hanggil, heharang hok dihuehin?” tanyanya, masih dengan nasi di mulut.

“Udah, ntar aja. Abisin dulu, ntar keselek lagi.. hanggil-hanggil..” nasihat Agus. Nana mengangguk, lalu cepat – cepat menelan nasi yang masih tersisa, “Ya, sudah nona!” ujarnya.

“Ngg.. lu pernah kebayang nggak seumpamanya…”

“Apa? Nana Ada yang mau nembak?” potong Agus cepat sebelum Dinda menyelesaikan pertanyaannya. Nana cemberut lagi, begitu pertanyaan yang seharusnya untuknya itu diserobot untuk kedua kalinya.

Agus mencibir, lalu bergegas bangkit meninggalkan mereka sebelum sendal Nana melayang ke kepalanya. Nana balas menatapnya dengan kesal, lalu kembali berpaling ke arah Dinda yang masih menunggu untuk melanjutkan kembali kalimatnya yang tadi terpotong.

“Kalau seumpamanya apa, Din?”

“Ya.. kayak yang dibilang Agus tadi..” canda Dinda.

“Ah, yang bener Din?” tanyanya antusias.

Dinda geleng – geleng kepala, “Ya, nggak laaahhh..!”

Nana urung senyum, “Trus apa dong?”

“Nggg..” Dinda ragu – ragu melanjutkan kalimatnya,“Ngg.. Kalau ternyata selama ini, selama bertahun – tahun lamanya ternyata baru sekarang lu tahu kalau ternyata lu sebenarnya punya saudara tiri dan ibu tiri?”

“Emang elo.. punya saudara tiri ya, Din?” tanya Nana hati-hati.

Dinda mengangguk, “Ya, ayah baru cerita ke aku, rahasia itu ia pendam sejak belasan tahun yang lalu..”

“Berarti bokap lu punya istri dua?”

“Ya.”

“Setelah nyokap lu meninggal?”

Dinda menggeleng, “Nggak, sebelum nyokap gw meninggal, atas saran nyokap gw.”

“Kok bisa?”

“Bisa aja.”

“Nyokap lu nggak marah? Trus di mana mereka sekarang? Kan katanya lu Cuma tinggal berdua sama bokap lu..”

Dinda mengangkat bahu, “Gw sendiri nggak tahu, Ayah nggak pernah cerita apa-apa lagi soal itu, tapi.. “ ucapan Dinda terpotong. Dahinya mengernyit dan matanya menerawang.

“Tapi apa?”

“Tapi entah mengapa, kok gw ngerasa mereka itu ada di sekitar gw ya? Gw nggak tahu siapa mereka, tapi.. kok rasanya mereka ada di dekat gw, tapi gw nggak inget apa yang bikin gw ngerasa kayak gitu, Na..”

“Emang lu nggak tahu sama sekali ciri – cirinya? Kan kalo saudara biasanya ada dikit – dikit miripnya..”

“Justru itu Na, masalahnya dia bukan anak kandung bokap gw. Dia itu anak bawaan istrinya itu, artinya, dia itu anak tiri bokap gw, trus kalau yang satu lagi gw nggak tau dia cowok atau cewek.”

“Lho, kok?”

“Iya, soalnya waktu itu adik gw itu masih dalam kandungan.”

“O…” mulut Nana mengerucut bulat mengucapkan huruf itu. keningnya sekarang ikut mengernyit, “Ya udah, kita selidiki aja..” ceplosnya enteng.

Kening Dinda jadi tambah berkerut, “Selidiki? Selidiki dari mana Na? Emangnya gw mo harus nanya Ayah gw lagi? nggak, mendingan gw nggak nanya dari pada dia sedih lagi..”

“Yee, siapa yang bilang begitu. Maksud gw.. lu cari aja diam – diam, siapa tahu bokap lu masih nyimpan photo lama, gw yakin nggak mungkin dia nggak nyimpan barang satupun..” Nana mengecungkan kedua jari telunjuk dan jari tengahnya.

Dinda mengangguk –angguk. Iya juga ya? Mungkin aja..

…………………

Pram tampak tengah sibuk dengan tumpukan koran di depannya. Tangannya sibuk membalik halaman demi halaman. Sebuah tongkat tersandar tepat di sampingnya. Dinda mendekati sosok itu dengan wajah ceria.

“Lho, udah pulang, Din?” tanyanya sebelum Dinda membuka suara.

“Udah, yah. Kan tadi Dinda masuk shift pagi.. ayah kok sibuk banget kayaknya, lagi ngapain sih?”

“Nggg, yah. Cari – cari sesuatulah! Udah sana makan, ayah udah masak tuh buat kamu.”

“Waahhh, ayahku baik sekali..!” puji Dinda. Ia lalu melenggang menuju pintu. Namun, baru beberapa langkah, ia baru ingat tujuannya semula waktu datang tadi. Ia kembali berbalik.

“Ayah..”

“Ya?”

“Ayah masih nyimpen album – album Dinda sama bunda waktu kecil nggak?”

“Ada. Kenapa?”

“Dinda mau lihat dong..!”.

“Buat apa, sayang?” jawabnya tanpa menoleh dari halaman yang sedang dicermatinya dengan hati – hati.

“Dinda mau lihat sebentar, ada perlu, buat.. buat biodata.” Jawab Dinda bohong.

“Sebentar, ayah lihat dulu.”

Pram segera melipat korannya, lalu mengambil tongkatnya dan beranjak dari tempat duduknya. Dengan dibantu Dinda, ia segera membuka lemari pakaiannya, lalu menurunkan sebuah koper kecil yang sedikit berdebu. Dibukanya koper itu dengan hati – hati, lalu mengeluarkan isi demi isi dari koper itu. Dinda menunggu dengan dada yang berdebar.

Akhirnya, setelah tiga per empat dari semua isi koper yang terbongkar, didapatinya dua buah album berukuran sedang yang tampak sudah sangat usang. Dikeluarkannya kedua album itu, lalu diserahkannya kepada Dinda.

Dinda menerima album itu dengan campuran berbagai perasaan. Ia lalu membawa album itu ke kamarnya setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih. Pram memandanginya dengan tatapan aneh, lalu kembali ke kesibukannya semula.

Setibanya di kamar, Dinda tak sabar untuk segera membuka album itu. Dengan tergesa – gesa ia melompat ke tempat tidur, lalu membalik lembar demi lembar photo yang terpajang di sana dengan teliti dan penuh selidik.

“Ah, kenapa semua hanya photo aku dan bunda? Kenapa tak ada photo tante Sintya atau anaknya itu?” desah Dinda kecewa dengan album yang bertama yang didapatinya tidak memberikan apa yang dicarinya.

Dinda lalu membuka album yang ke dua. Ia melakukan hal yang sama seperti yang pertama. Lembar demi lembar, photo demi photo. Hingga akhirnya ia akan menutup album itu dengan penuh kecewa, tiba – tiba.. matanya memaksanya untuk kembali ke halaman sebelumnya. Dua photo didempetkan jadi satu!.

Dengan hati – hati segera dilepaskannya steples yang menempelkan kedua photo itu dan terlihatlah wajah seorang wanita, yang dibuat bertahun – tahun yang lalu dan dengan dandanan yang mungkin sedang musim waktu zaman itu. Polesan make up tipis menutupi kulitnya yang putih, tapi hal itu tak membuat Dinda tak mengenali wajah itu. Ya, wajah yang beberapa waktu lalu dijumpainya! Yang terasa begitu dekat dengannya dan langsung akrab dengannya, yang anaknya selalu mendampingi dan membantunya, dia adalah.. Ibu Ryan! Ibu Zahra!

Dengan dada berdebar dan berharap cemas Dinda membaca tulisan di balik photo itu. “Sintya.” Dinda terhenyak.

…………bersambung ke bagian 15………………….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar