masak

Selasa, 15 Juni 2010

RB - Bagian Lima

Jakarta, Sehari Setelah Pemilihan Siswa Teladan…

Tok! Tok! Tok!

Dinda mengetuk pintu ruang kepala sekolah dengan hati – hati. Hatinya diliputi tanda tanya besar karena baru pertama kali ini pak Teguh, kepala sekola SMA Teladan, memanggilnya ke sini dengan tiba – tiba dan sendirian. Sebuah suara bariton yang sudah dikenalnya menyuruh Dinda untuk melangkah memasuki ruangan berbentuk persegi itu. Di pojok ruangan pak Teguh tampak sudah menunggunya. Dinda segera dipersilahkannya duduk.

“Maaf pak, ada apa ya bapak manggil saya?” tanya Dinda.

Pak teguh mamandang Dinda dengan tatapan yang tak dimengerti oleh gadis itu. Keningnya yang mulai keriput tampak mengernyit seperti berpikir. Dinda jadi tambah bingung dan sekali lagi menegur dengan suara agak dikeraskan, “Pak?”

“Eh, iya, iya.. begini nak Dinda, bapak dan sekolah ini bangga sekali dengan prestasi yang sudah kamu lakukan untuk sekolah ini.”

“Kok bapak jadi gitu ngomongnya sih? Itu kan emang udah jadi kewajiban Dinda pak, untuk menjaga dan mengangkat nama sekolah kita ini.” ucap Dinda tersenyum melihat kegugupan kepala sekolahnya.

“Bapak tahu itu, tapi.. maafkan bapak nak Dinda, maafkan sekolah ini..” Pak teguh mengelap keringat di dahinya.

“Emang kenapa pak?” tanya Dinda tak mengerti, ”Maaf untuk apa?”

“Begini nak Dinda, kami sebenarnya ingin mengurus beasiswa nak Dinda secepat mungkin, seperti tahun – tahun sebelumnya, karena nak Dinda tau sendiri kan bentar lagi di sana semester baru akan segera dimulai, tapi kami mendapatkan bahwa ada satu syarat yang tidak bisa nak Dinda penuhi.”

Dinda terperangah.Kaget. Syarat? Bukankah semua syarat sudah dilengkapinya? Lalu?

“Syarat apa, pak?”

“Tes kesehatan.”

“Tes apa, pak?”

“Kesehatan.”

“Lho, bukannya sebelumnya nggak ada tes – tesan segala pak selain seleksi itu? Dan bukankah semua syaratnya udah saya penuhi?”

“Ya, tapi kami mendapatkan sebuah informasi penting.”

“Informasi apa, pak?”

“Informasi bahwa.. maaf, kami mendapatkan informasi dari sebuah sumber kalau nak Dinda mengidap penyakit tebece. Apakah informasi itu benar?”

PLUGG! Dinda bagai terlempar ke jurang yang dalam. Dinda mengangguk dengan lesu ,”Ya, pak.”

“Begini, sesuai perjanjian antara pihak sekolah dan mereka, mereka akan menolak siswi yang mengalami gangguan kesehatan dan berpenyakit menular, apalagi yang namanya, tebece. Mereka tidak mau menerima, kecuali ganti orang. Dan kalau kita mengulur – ulur waktu lagi, kita nggak akan bisa mengejar semester ini.”

Dinda terdiam. Perkataan pak Teguh barusan seperti mengikat lidahnya untuk membantah dan membela diri. Tebece? Bagaimana mungkin penyakit itu bisa jadi penghalang cita – cita seumur hidupnya? Apakah semua impiannya harus kandas hanya karena tebece yang dideritanya?

Dinda terhenyak. Tapi.. tunggu dulu. Kenapa pihak sekolah sampai tahu semua itu? bukankah tak ada yang tahu tentang hal ini? siapa yang mengatakan hal itu? siapa yang membocorkan rahasia itu? hal tes kesehatan beberapa bulan lalukah?

“Maaf pak, boleh saya tau dari mana pihak sekolah tahu hal itu?” tanya Dinda.

Pak Teguh lalu tampak mengaduk – aduk isi lacinya, seperti mencari – cari sesuatu. Dan akhirnya tangannya menggenggam sebuah amplop coklat yang akhirnya diangsurkannya amplop itu kepada Dinda.

Dinda menerima amplop itu dengan bingung dan penuh dengan tanda tanya. Tapi tak urung, tangannya segera membuka isi amplop polos itu dan mengeluarkan dua lembar kertas dari dalammya. Ada dua lembar kertas yang bertuliskan huruf – huruf yang diketik. Mata Dinda yang bening menelusuri huruf demi huruf yang tercetak tebal dan rapi pada lembar kertas yang pertama itu.

“Kepada kepala Sekolah SMU Teladan,

Saya hanya ingin memberitahukan, bahwa siswa yang bernama Adinda Putri adalah pengidap tubercolosis atau TBC dan tidak layak mewakili sekolah ini sebagai siswa teladan. Harap ditindak lanjuti.. kalau sekolah bapak tidak ingin mendapat malu dan tercemar. Terima kasih bapak kepala yang baik.” dari : the best student.

Dinda terperanjat kaget. The best student? Siapa dia? Ia langsung melihat kertas lembar ke dua? Oh, my god! Apa ini? mengapa ini ada di sini? Dinda menahan napas. Dadanya terasa semakin sesak. Kertas itu.. kertas itu adalah hasil pemeriksaan laboratoriumnya!

“Kami mohon maaf nak Dinda, kami harap…”

“Tidak apa – apa, pak.” Potong Dinda dengan nada lesu.

“Benar nak Dinda, kami nggak bermaksud.. tapi demi kebaikan kamu, dan teman – temanmu juga, dan sekolah kita ini juga.”

“Tidak pak,” potong Dinda lagi, ”Saya tahu sekolah nggak salah. Mungkin emang jalan hidup saya nggak ke sana, nggak apa – apa kok pak, mungkin lain kali saya bisa ke sana. Yah, kalaupun sekolah terpaksa mengizinkan saya ke sana, tapi.. yah, hasil lab itupun akan mengatakan hal yang sebenarnya. Saya mengerti, pak. Tapi, kalau boleh saya tahu, siapa yang akan menggantikan saya pak?”

“Terima kasih Dinda, oh ya, kamu akan digantikan oleh runner up waktu pemilihan, temanmu Selvy yang akan berangkat. Mudah – mudahan kamu cepat sembuh ya! Oh ya, kami tidak akan membocorkan hal ini kepada para siswa asalkan kamu tetap berobat dan berusaha untuk sembuh. Bapak yakin kamu pasti bisa sembuh.”

“Makasih juga pak, saya permisi, Assalamu ‘alaikum.”

“Wa’alaikum salam.”

Dinda melangkah menuju pintu dengan lunglai. Ia pergi dengan membawa kepingan pecahan cahaya bintang yang mulai mulai padam pijar cahayanya. Hanya sebuah pertanyaan yang masih tersisa di kepala Dinda. Siapa orang yang begitu tega melakukan semua ini kepadanya? Dinda mencoba mengingat – ingat di mana ia terakhir kali meletakkan kertas itu, namun pikirannya buntu, kepalanya terasa berputar.

“Hai, Din..!” sapa sebuah suara ketika Dinda baru menutup pintu ruangan itu. Ia berbalik. Selvy berdiri di sana dengan tersenyum.

“Hai juga.” Balas Dinda.

“Baru dari kepsek?”

Dinda mengangguk, “Ya, selamat ya..!”

“Oh, Eh.. iya. Makasih. Eh, gw masuk dulu ya, daaagh!” Selvy melambaikan tangan, lalu menghilang di balik pintu yang sama dengan yang tadi dimasuki Dinda. Dinda masih bisa menangkap senyum kemenangan yang terpancar di wajah cantik itu sebelum menghilang di balik daun pintu.

Dinda menatap tempat dimana bayangan itu menghilang sesaat, lalu berbalik menuju kelasnya dengan hati hancur. Dinda kembali berpikir. Selvi? Apakah Selvy yang melakukan semua ini? ya, mungkin hanya nama itulah yang masuk akal akan melakukan hal ini. Tapi, apakah memang sebesar itu kebencian Selvi padanya? Tapi, kalau bukan Selvy, lalu siapa yang begitu menginginkan kehancurannya? Siapa sosok yang begitu membencinya dan begitu tega menghancurkan impiannya? Menghancurkan cita – cita dan harapannya selama ini?

…bersambung ke bagian enam…………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar