masak

Senin, 21 Juni 2010

RB - Bagian Sebelas

Pram membuka matanya perlahan. Cahaya yang masuk di sela – sela gorden membuatnya tak bisa membuka mata secara langsung, karena belum terbiasa dengan sinar terang. Perlahan, matanya yang masih kabur mencoba menangkap bayangan gadis yang tertidur pulas di samping tempat tidurnya. Dinda. Tangan Pram berusaha menggapai dan membangunkan gadis semata wayang kesayangannya itu. Namun, sepertinya tangannya terasa sangat lemah, sehingga hanya mampu mengenai gelas yang tergeletak di sampingnya. Gelas itu oleng beberapa saat sebelum akhirnya pecah berantakan jatuh ke lantai.

Praaannggg..!!!

Dinda terlonjak dari tidurnya begitu mendengar benda pecah yang tak jauh dari telinganya. Matanya yang masih bengkak mencoba mencari sumber suara. Dinda langsung terlonjak kaget dengan apa yang di lihatnya. Di depannya, Ayahnya telah membuka mata. Ayahnya telah sadar!

Dinda segera memanggil dokter dan perawat. Setelah dokter mamastikan bahwa Pram, ayahnya, akan baik – baik saja, langsung saja bak anak kecil, Dinda segera memeluk, menciumi tangan dan kening ayahnya dengan suka cita. Sedangkan bibir mungilnya tak henti – hentinya mengucapkan syukur. Tak dihiraukannya dokter yang meninggalkannya dengan geleng – geleng kepala, serta Ryan dan Zahra yang baru datang membawakan makan siang yang menatapnya dengan penuh rasa haru dan bahagia. Air mata ikut menetes di pipinya. Satu masalah terselesaikan, walaupun ribuan masalah lainnya masih menunggu gadis itu.

……………………………

“Din…”

Sebuah suara mengagetkan Dinda yang sedang menyuapi ayahnya sarapan bubur pagi itu. Rasanya dulu suara itu pernah bergaung di pendengarannya. Dinda menoleh dengan cepat.

“Selvy?” Dinda mengerjapkan matanya, mencoba meyakinkan penglihatannya. Ryan yang berdiri di samping Selvy menganggukkan kepala meyakinkan Dinda, lalu menggantikan Dinda menyuapi pak Pram. Dinda tak segera berbicara, setelah diambilnya sapu tangan penutup mulutnya kalau batuk, gadis itu langsung mengajak Selvy ke ruang tunggu di depan kamar ayahnya. Pikirannya masih berkecamuk, untuk apa dia ke sini setelah semua yang terjadi?

“Sorry Din, gw baru dateng sekarang, gw minta maaf atas kejadian waktu itu.” jelas Selvy, penyesalan jelas terpancar dari matanya. Dinda memandang Selvy bingung.

“Minta maaf?”

“Ya, minta maaf atas sikap gw, lu mau kan maafin gw, Din?”

Dinda tergagap. Ya Tuhan, apakah ini berarti dugaannya selama ini terhadap Selvy adalah benar?

Kening Dinda berkerut, tapi ia tak berani bertanya apa – apa selain menganggukkan kepala, “Gw.. gw nggak pernah mikirin itu lagi kok, gw udah maafin semuanya.”

Selvy langsung memeluk Dinda, “Gw ternyata salah paham ya Din sama lo, ternyata lu baik banget orangnya, kita temenan, ya ? gw malu sama sikap gw selama ini sama elo, Din.”

Dinda bengong. It’s Right? It’s enough ? apakah semua ini sudah cukup untuk membayar semua kesalahan itu? Semudah itukah? Seakan itu adalah kesalahan yang sangat kecil?

“Selvy..!!”

Sebuah bentakan dari belakangnya membuat Selvy melepaskan pelukannya dari Dinda. Anggi berdiri di sana dengan wajah yang hampir memerah menahan marah. Demikian juga Dengan Selvy yang tiba – tiba berubah sangar. Sungguh, bukan seperti Selvy yang baru saja dihadapi Dinda.

“Ngapain lu di sini?” Anggi langsung menarik tangan Selvy dengan kasar, seolah – olah menjauhkan gadis itu dari Dinda.

“Lu sendiri ngapain?” balas Selvy sengit.

“Mau tau aja lu, gw ingetin ya, lu jangan coba – coba deketin Dinda, jangan mentang – mentang selama ini gw nggak bareng Dinda deh! atau lu kurang puas udah ngerebut gelar siswa teladan? Jangan pura – pura baik, ok!?” Anggi mendorong Selvy agar gadis itu menjauhi Dinda.

“Gw nggak pura – pura baik Din, Nggi, tapi..” Selvy memandang Dinda ragu,”Ah, Ok, Din. Ngg.. ok, gw pulang dulu ya?”

Tanpa menunggu jawaban, akhirnya Selvy meninggalkan Dinda yang masih melongo dengan pandangan tak mengerti menatap mantan sahabat dan mantan saingannya itu. Ada apa ini? kenapa Anggi dan Selvy bisa datang tiba – tiba dan secara hampir bersamaan? Kenapa Anggi begitu marah ketika Selvy mendekatinya? Dan kenapa Anggi tiba – tiba muncul setelah sekian lama dan seakan – akan selama ini tak ada apa – apa? Ada apa lagi ini ya Tuhan?

“Din, maafin gw ya? selama ini, gw tau gw salah ninggalin lu sendirian. Gw baru sadar, seharusnya gw nggak ngebiarin lu sendirian memikul beban seberat ini.“ ucap Anggi berubah lembut.

Dinda semakin bingung. Tadi Sevy, sekarang Anggi? Ada apa sebenarnya?

“Din..” Anggi menepuk bahu Dinda.

Dinda tersadr dari lamunannya, “Eh, I..iya, udahlah Nggi, lu nggak salah, semua wajar kok.” Ujar Dinda sambil menahan batuknya.

Dinda menatap Anggi. Keduanya tersenyum. Lalu Anggi menarik Dinda menuju mobil, mengambil plastik berisi oleh – oleh yang dibawanya.

“Selvy ngapain nemuin lu, Din?” tanya Anggi sambil mengeluarkan bawaannya dari bagasi.

“Dia minta maaf.”

“Minta maaf?”

“Ya.”

“Tuh kan? Benerkan dugaan gw..”

“Dugaan apa?”

“Iya, dia pasti mau ngambil kesempatan buat ngedeketin lu selagi kita – kita nggak ada.. jangan – jangan dia juga lagi yang ngelakuin semua ini sama elo, sampai – sampai kita benci sama elo…” Anggi menutup bagasi, lalu kembali mengunci mobilnya.

“Nggak tahu lah, siapapun nggak masalah. Semua udah lewat Nggi.” Ucap Dinda, lalu mengikuti Anggi yang berjalan masuk menuju kolidor rumah sakit yang menghubungkan dengan kamar ayahnya.

Sementara itu…

Selvy mengamati Anggi dan Dinda yang berjalan dari kejauhan dengan kesal. Dinda. Sedikit lagi! padahal sedikit lagi… seandainya saja Anggi tidak muncul, pasti ia akan berhasil melakukan hal itu! pasti ia akan bisa mengatakan hal itu! tinggal selangkah lagi! ah, Dinda, gadis itu begitu kuat, tapi akankah ia masih sekuat itu jika mengetahui kenyataan itu?. Bisik batin Selvy lirih, lalu meninggalkan kawasan rumah sakit.

………..…………….

“Aku bingung..” ujar Dinda suatu sore kepada Zahra dan Ryan.

“Bingung?” sahut Ryan dan Zahra berbarengan. Zahra memandang Ryan dengan tajam. Ryan mengerti arti pandangan itu.

“Ya.”

“Sebabnya?” kali ini hanya Zahra yang menyahuti, sedangkan Ryan kembali sibuk dengan buku di tangannya.

“Ya… a.. aku bingung sama Anggi dan Selvy, kok mereka tiba – tiba dateng barengan, padahal selama ini mereka nggak pernah mikirin aku, eh, kok pada dateng tiba – tiba, apalagi sampai nengokin ayah.. udah gitu mwnghilangnya juga barengan. Aneh kan?”

Zahra mengerutkan kening. Ryan yang mau tak mau ikut mendengar, juga ikut berpikir, walaupun matanya terpaku pada buku di tangannya itu.

Dinda menceritakan pertemuannya siang itu dengan Anggi dan Selvy, kedua gadis itu memang langsung tiba – tiba menghilang, alias nggak pernah datang lagi menemui Dinda. Cukup aneh memang. Apalagi sikap Selvy yang berbeda waktu itu, yang seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi entah apa Dinda tak tahu.

“Aneh memang, tapi menurut aku, kak Dinda nggak usah pikirin, mungkin aja ini jawaban atas doa – doa kakak selama ini atau memang Allah telah membukakan pintu hati mareka saat ini, siapa tahu..!!” Zahra mengangkat bahu, “Udahlah kak, nggak usah bingung, yang namanya temen, seneng bareng, susah juga bareng, lupain aja mereka, banyak yang harus kakak pikirin selain mereka. Trus ntar kalo kakak udah bener – bener sembuh, baru deh kakak pilih yang mana yang bener – bener temen.”

“Betul, Din!” Ryan akhirnya menimpali juga, “Sekarang mulai aja siap – siapin barang buat pulang, tadi aku udah bicara ke dokter, katanya kalau keadaan normal – normal aja lusa om udah bisa dibawa pulang.”

“Bener?” Dinda kaget,”Kok kalian nggak bilang – bilang sama aku sih? Jahat!“ Buugg! Dinda melempar dua bantal kursi yang tadi di tangannya kepada Ryan dan Zahra, membuat kedua kakak beradik itu reflek mengelak.

Dan dalam waktu singkat, bantal di ruangan itu melayang kembali. Perang bantal!

Kan surprise, abisnya kamu betah kayaknya di rumah sakit.. he.. he…” Ryan nyengir melihat wajah Dinda yang berlipat empat cemberut. Melihat itu, Zahra yang biasanya tak suka menggoda jadi ingin menggoda, “Eit, kak, udah minum obat belum ? Ntar aku yang repot lagi..”

Dinda jadi bengong. Lho, Kok dia yang repot?

“Iya, ntar aku yang repot bawa kakak ke rumah sakit jiwa! ha.. ha..”

Blukgk! Sekali lagi bantal di tangan Dinda mengenai kepala Zahra, “Dasar! Kakak adik jailnya kompak..!”

Namun, akhirnya gadis itu beranjak juga mengambil kantong obat di laci tak jauh dari tempat duduknya. Satu persatu obat tablet yang bertuliskan rifamficin, pirazinamid, etanbutol, dan streptomizin itu di keluarkannya dan di telannya dengan segelas air yang diangsurkan Ryan kepadanya. Tapi, baru beberapa saat..

“Yan..”

“Apalagi? Bentar Yan, bentar Ra, kenapa?”

“Gimana ya kabarnya Fery?”

Ryan terdiam sesaat. Ada perasaan tak tega tergambar di sana. Dinda, seandainya saja kamu tahu kenyataannya..

“Udah ah, ngapain sih kamu mikirin dia?” Ryan sewot.

“Ya, lupain aja kak, kalau jodoh kan nggak akan kemana..” Zahra ikut – ikutan.

“Yeee, anak kecil ikut – ikutan, emang tahu?” balas Dinda. Zahra nyengir. Dinda tersenyum penuh kemenangan karena berhasil membuat Zahra diam, “Hmm…”

“Apa lagi?” Ryan dan Zahra berbarengan.

“Nggak, Cuma mikir aja, sampai kapan ya aku kayak gini? Apa aku bisa ya bertahan terus sama obat – obat ini?”

Dinda menatap sekantong obat di tangannya dengan sedih. Ryan menatap Dinda perasaan tak menentu.

“Din, kamu pasti bisa bertahan, percayalah Din. Kamu aja bisa melewati masa – masa sulit kemarin, kenapa sekarang kamu nggak bisa? Kamu pasti bisaa! Aku dan Zahra akan terus nemenin kamu Din, sampai kamu sembuh..” Ryan menatap Dinda, berusaha membangkitkan rasa optimis gadis rapuh itu.

“Kalian nggak takut ketularan?” tanya Dinda.

“Kak Dinda. Aku ulangi, Temen susah bareng, seneng juga bareng. Kalo aku berpikiran kayak gitu, udah lama kita nggak mau deket – deket sama kakak! Itu kata seseorang sih..”Zahra mengerling ke arah Ryan.

Ryan jadi salah tingkah.

Zahra menggengam tangan Dinda, “Aku nggak berharap apa – apa, aku Cuma pengen lihat kak Dinda yang dulu, yang selalu tersenyum. karena itu, kakak harus terus berjuang ya? Mau kan demi aku? Please.. please…” Zahra menangkupkan kedua tangannya di dada, membuat Dinda tertawa melihat ekspresinya yang lucu. Ryan ikut tertawa.

“Huuu! iya Nona sok dewasa. tapi, dapet kata – kata dari mana nih anak?”kening Dinda mengerut.

“He.. he..” Zahra nyengir, “Dari buku harian seseorang..” jawabnya polos, sambil mengerling jail ke arah Ryan.

Hukkggkk!.

Muka Ryan langsung bersemu merah seketika. Ketiganya lalu larut dalam canda di sela – sela batuk kecil Dinda, walau masih terbesit kerinduan dan pertanyaan dalam hati Dinda.

Ah, seandainya yang berkata demikian adalah Fery dan teman - temannya.. Tapi, entahlah! Fery, kemana sosok itu? mengapa tak sekalipun Fery menemuinya? Lalu ayah? Jika mereka akan pulang besok, bagaimana cara menjelaskan semua yang telah terjadi kepada lelaki itu? termasuk masalah penjualan rumah? Serta menjelaskan kenyataan yang ada?

“Eh, Din..” Suara Ryan membuyarkan lamunan Dinda.

“Ya?”

“Untuk besok siang aku udah minta tolong si mbok buat nungguin papa kamu, karena itu kamu bisa ikut aku dan Zahra besok.”

“Ikut? Kemana?”

“Ke rumahku, ke rumah kami.”

“Emang ada acara apa?”

“Nggak, kita kan cerita sama ibuku tentang kamu. Nah! besok, aku, Zahra, mau ajak kamu kenalan sama beliau, mau kan?”

Dinda berpikir sejanak, lalu “Ngg, nggak apa-apa kali ya? ya deh! jam berapa?”

“Jam setengah satu siang.”

“Ok.” Jawab Dinda. Ngg..ibu, seperti apa ya, ibunya Ryan dan gadis kecil itu? Ah, mudah – mudahan saja baik, lembut, pengertian, ramah.. ah, Bunda, itukan seperti bunda. Mungkinkah ibunya Ryan juga seperti bunda?

Dinda kembali tenggelam dalam lamunan dan angan - angannya.

…………………

Dinda mngikuti Ryan dan Zahra memasuki pekarangan sebuah ruah mungil. Ryan mengetuk pintu rumah mungil itu. Tak berapa lama kemudian seorang wanita setengah baya membukakan pintu itu dan menyambut mereka dengan ramah dan penuh senyum. Dinda segera menebak, mungkinkah ini ibu mereka?

Dugaan Dinda tampaknya tak meleset. Ryan dan Zahra segera membungkuk mencium tangan wanita itu. Dinda mengikuti melakukan hal yang sama dengan agak canggung dan kikuk. Tangan lembut wanita itu tampak sedikit gemetar ketika kulitnya bersentuhan dengan tangan Dinda.

“Bu, ini Dinda,”Ryan memperkenalkan Dinda, “Din, ini ibuku.”

“Ibuku juga.” sambung Zahra tak mau kalah.

Dinda tersenyum. Wanita itu membalas senyumnya,”Ayo, silahkan duduk. Ibu bikinkan minum dulu ya, Dinda mau minum apa?”

“Ah, nggak usah repot – repot, bu. Apa aja boleh.”

Ryan dan Zahra pamit sebentar meninggalkan Dinda untuk berganti pakaian. Dinda mengamati seisi ruangan itu. Ruang tamu yang sederhana. Tak ada pajangan, hanya ada beberapa photo Ryan sewaktu masih SD dan SMP, juga photo Zahra dan beberapa photo ibu Ryan sewaktu masih gadis. Tiba – tiba saja Dinda merasakan ada sesuatu yang kurang di ruangan itu. Tapi, ia tak segera menemukan kekurangan itu, karena pikirannya segera terhenti karena ibu Ryan telah kembali dengan membawa nampan yang di atasnya ada tiga gelas air sirop.

“Maaf, ya Din, ini seadanya.” Ibu itu meletakkan gelas di depan Dinda.

“Nggak apa-apa kok, bu.” Jawab Dinda, bersamaan dengan kemunculan Ryan dari arah kamarnya. Tampaknya ia sudah berganti baju.

“Bagaimana kabarnya ayah Dinda sekarang?”

“Ya, udah lumayan baik, bu. Mungkin besok udah bisa pulang.”

“Syukurlah..” wanita itu menarik napas panjang. Ada suatu perasaan lega dalam nada suaranya.

Demikianlah! Setelah itu dua jam mereka terlibat dalam percakapan – percakapan sehari – hari. Mulai dari pekerjaan, sekolah, sampai – sampai membicarakan resep masakan, dan banyak hal lainnya, diselingi tawa renyah yang sesekali terdengar. Akrab dan hangat, walaupun banyak hal yang tak dimengerti oleh Dinda dalam percakapan itu.

…………………….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar