masak

Rabu, 23 Juni 2010

RB - Bagian Tujuh Belas

Dari balkon lantai dua sebuah rumah megah sesosok bayangan sedang mengamati dua orang yang tengah bercakap – cakap di lantai bawah yang tak jauh di depannya. Sesekali mata di balik kaca mata ia melirik Seiko mungil yang melingkar di tangannya. Huh, Lama sekali gadis itu! keluhnya sambil menatap ke bawah, ke gerbang masuk tentunya.
Tak lama kemudian, senyumnya mengembang. Hatinya bersorak, sesuai rencana, akhirnya gadis itu datang! Dinda datang! Ah, lihat saja, sebentar lagi akan ada kekacauan sodara – sodara! Perang saudara antara ayah dan anak! Hati gadis itu bersorak riang.
Sesuai rencana, Dinda berjalan tergesa – gesa memasuki pekarangan rumah yang tak diketahuinya siapa si empunya rumah itu. Si gadis langsung mengambil tempat strategis untuk mendengar pembicaraan, namun tak terlihat dari lantai satu.
Sesampainya di pintu masuk, Dinda segera mengetuk pintu dengan ragu - ragu. Seorang perempuan setengah baya segera membukakan pintu dan mempersilahkan gadis itu masuk. Namun, baru beberapa langkah Dinda melangkah, ia langsung terperanjat dengan pemandangan di depannya. Matanya terpaku pada dua sosok yanga tengah asyik berbicara di ruang tengah. Ayah? Siapa wanita itu? pemilik rumah inikah? oh! Tante Tari!
“Dinda?” Ayah Dinda dan tante Tari serempak berseru kaget. Kedua sosok itupun seperti sangat terkejut ketika menyadari kehadiran Dinda di sana. Dinda seperti ingin lari saat itu, tapi rasa keingintahuannya lagi – lagi membuat kakinya seperti terpaku dan tak mampu beranjak dari tempatnya berpijak. Kenapa ayah tak pernah cerita kalau ternyata ia mengenal tante Tari? kenapa ayah mesti merahasiakan pertemuan ini? Hati Dinda berbisik, semua harus jelas! Semua teka – teki ini harus diselesaikan!
Pram dan tante Tari bergegas menghampiri Dinda.
“Ayah? Tante? Kenapa..” Dinda gelagapan. Kepalanya pusing, semua pertanyaannya yang tadi menempel di kepalanya tadi seperti hilang seketika.
“Dinda.. denger dulu penjelasan ayah..” Pram berusaha menenangkan Dinda, di rengkuhnya gadis itu untuk segera duduk.
Tapi tampaknya kepala gadis itu tak dapat lagi menguasai hatinya. Dinda menepiskan tangan ayahnya,” Apa arti semua ini, yah? Lalu cerita ayah beberapa hari yang lalu itu… ”
“Dinda, sungguh…”
“Nggak usah ayah, cukup Dinda di sini aja.. ayo, ceritakan semua kebenaran yang selama ini ayah sembunyikan dari Dinda..” Dinda menatap Tari dengan tatapan sinis.
“Nggak ada, sayang..”
“Jangan panggil Dinda kayak gitu, sampai semuanya ayah ceritakan.. Dinda sudah siap dengerin semuanya, Dinda sudah siap sejak Dinda melihat tante datang ke rumah sakit, membayarkan semua sisa biaya rumah sakit ayah, ayo tante, ayah..” Dinda mengusap air mata yang mengalir di pipinya.
“Dinda.. kami tak ada hubungan apa-apa. Sungguh!” jelas tante Tari.
“Seperti.. teman maksud tante?”
Tante Tari dan Pram mengangguk.
“Teman? kok kayak anak kecil aja? Atau emang ayah dan tante yang menganggap Dinda sebagai anak kecil, yang nggak mengerti apa – apa? Dinda kan punya mata dan hati. Ha?” Dinda tertawa sini.
“Ya, Din.. percayalah sama ayah, ayah nggak pernah bohong sama kamu. Ayah kesini cuma mau ngucapin terima kasih.” Pram meyakinkan Dinda.
“Apa wajar teman membayarkan biaya sebanyak itu? dengan cara rahasia - rahasiaan segala? apa wajar pake kirim - kiriman bunga segala? Apa wajar ketemu diam – diam dan tanpa sepengetahuan Dinda?”
“Tante emang membayar sisa biayanya, itu sebagai.. ah, tante punya alasan.. tapi.. bunga? Bunga apa?” tante Tari terlihat bingung.
“Alah, tante nggak usah pura – pura nggak tahu!” Dinda kesal, ”Gimana mungkin tante nggak tahu bunga yang tante letakkan di kamar ayah waktu ke rumah sakit itu! Dinda nggak bodoh tante, Dinda udah dewasa.. udah ngerti!” mata gadis itu semakin merah menahan perasaannya yang bercampur aduk. Pram dan Tari saling berpandangan.
“Sekarang.. Dinda udah nggak percaya sama siapapun..”
“Dinda, ayah…” Pram mencoba memotong.
“Stop yah, Dinda belum selesai.. Dinda capek dibohongin.. sama tante yang baik dan Dinda kira nggak punya maksud apa – apa, sama ayah yang semua Dinda korbankan untuknya, tapi bohong sama Dinda, ayah jahat! “
“Maafin ayah Dinda.. ayah nggak bermaksud bohong sama kamu.. “ Pram menatap Dinda dengan sungguh-sungguh. Dinda tak bergeming, sampai…
“Ayah kamu benar Din, dia nggak bohong.. diantara kami emang nggak ada apa – apa, pasti itu Cuma kerjaan orang iseng.. kamu harus percaya itu.” tante Tari ikut meyakinkan Dinda.
“Dinda nggak percaya… Dinda nggak percaya..” dinda menggeleng. Air mata dengan deras membanjiri pipinya dari tadi.
“Cukup Din, semua yang dikatakan ayah kamu dan mamaku bener, tak ada yang membohongimu..”
Sebuah suara bariton yang rasanya amat dikenalnya membuat kepala Dinda menoleh, oh.. tidak hanya Dinda, tapi juga tante Tari dan Pram, ayah Dinda. Jantung Dinda langsung berdegup kencang. Keningnya mengernyit, mulutnya yangsung berucap spontan, “Fery? Ngapain kamu di sini?”
“Boleh kan aku di sini sesukaku, di rumahku sendiri.”
“Ya, Din.. maaf, aku udah dengerin kalian dari tadi dan aku rasa aku harus ikut campur. Karena aku nggak tahan lagi harus terus membohongi kamu dan diriku sendiri..”
“Tau apa kamu?”
“Tahu semuanya, tapi please, tolong maafin aku dulu”
“Untuk apa?” Dinda bingung.
“Karena aku sempat benci sama kamu.. bukan, bukan karena tebece itu, bukan karena.,ah, tapi…”
“Tapi apa ?” tanya Dinda sengit.
“Tapi karena kecelakaan empat belas tahun yang lalu.. karena aku nggak bisa maafin ayah kamu yang bikin papaku meninggal karena ditabrak mobil ayah kamu… aku…” Fery tak dapat melanjutkan kata – katanya.
Dinda merasakan kepalanya semakin berat untuk menangkap kalimat – kalimat yang diucapkan Fery. Ia memandang ayahnya sebentar. Lelaki itu hanya mengangguk, membenarkan apa yang dikatakan oleh Fery. Gadis itu memandang Fery dengan tatapan tajam.
“Jadi…jadi.. semua ini adalah acara balas dendam kamu sama mamamu sama aku dan ayah? Iya?!” Dinda setengah berteriak, “ Sukses acara kamu bikin aku kehilangan beasiswa? Sukses bikin aku kehilangan teman karena berita yang kamu sebarkan di sekolah? bahagia lihat ayahku terkapar berlumuran darah karena di tabrak? Masih kurang dengan keadaan kami yang sekarang tinggal di kontrakan kecil? Masih kurang? Apalagi yang kamu inginkan setelah ini? Hah?!” Dinda menatap Fery dan tante Tari tak berkedip. Semua uneg – unegnya selama ini seakan tumpah seketika.
“Tidak Din, kamu salah paham.. “Fery berusaha meyakinkan Dinda, juga Pram,
“Aku nggak percaya Fer, aku nggak percaya kamu tega melakukan perbuatan serendah itu sama aku dan ayahku!”
“Dengerin aku dulu, Din..”
“Apa? Apa yang harus aku dengerin?” Dinda semakin tak kuasa mngendalikan emosinya. Pram memegang pundak Dinda.
“Tadinya aku memang berencana menabrak oom di malam itu, aku ngikutin ayah kamu memang waktu, sampai ban mobilnya kempes di tengah jalan.. dan aku memang ikut berhenti beberapa meter setelah om Pram berhenti, tapi entah kenapa di saat – saat terakhir aku jadi bimbang, aku ngerasa aku sangat pengecut, dan akhirnya aku pulang tanpa mempedulikan apa – apa.. aku sama sekali nggak ngelakuin itu Din.. aku berani ber..”
“Apa?! Berani apa? Nggak ada lagi yang aku percaya sama kamu.. aku nggak nyangka Fer, kamu pengen kenal sama aku Cuma karena manfaatin aku aja untuk dendam kamu Fer..” Dinda memandang Fery, lalu beralih ke tante Tari,“ Tante juga.. semua nggak ada yang Dinda percaya..”
“Nggak Din, kamu nggak boleh ngomong begitu.. waktu di pesta itu aku belum tahu kalau kamu adalah anak om Pram, juga waktu makan malam itu, sungguh Din! Dan mama juga ngebantu biaya rumah sakit ayah kamu juga sebagai balas budi..”
“Aku nggak percaya..”
“Ya, Din.. mungkin Pram belum sempat cerita, dulu setelah papanya Fery, suami tante kecelakaan, papa kamu lah yang bantu tante dan perusahaan kami.. jadi, wajar kan kalo tante juga bantu ayah kamu?” jelas tante Tari.
“Jadi semua ini.. selama ini.. oh, Dinda bingung..” Dinda memegang kepalanya yang semakin sakit.
“Sebentar, ada yang harus kamu tahu..” ucap Fery.
Dengan tergesa - gesa Fery berlari meninggalkan Dinda, Pram dan mamanya menuju lantai dua. Entah apa yang akan dilakukannya, entahlah..
Satu menit, dua menit, lima menit berlalu. Fery tak juga muncul dari lantai dua. Dinda menunggu dengan dada berdebar. Tangannya masih memijit – mijit kepalanya yang semakin sakit. Sementara itu Pram dan tante Tari memandang gadis itu dengan tatapan cemas.
“AAAAAH...!”
Tiba – tiba Dinda, Pram dan tante Tari dikejutkan oleh teriakan melengking seorang perempuan yang terdengar dari lantai dua.
Mereka segera berlari menuju asal suara yang ternyata dari salah satu kamar itu. Langkah Dinda tiba – tiba terhenti. Kakinya seperti terpaku, matanya terbelalak kaget ketika menyaksikan peristiwa di depannya. Fery sedang berusaha menarik tangan seorang gadis yang meronta dengan sekuat tenaga. Gadis itu adalah.. Anggi!

………bersambung ke bagian 18……..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar