masak

Senin, 21 Juni 2010

RB - Bagian Tiga Belas

Pram memandang photo lama di dalam buku catatan pribadinya itu dengan cermat. Dahinya mengernyit. Matanya menerawang. Ia berpikir dan berusaha membandingkan wajah yang ada dalam ingatannya dengan wajah yang ada di dalam photo itu. Persis! Dugaannya pasti tak salah!
Tapi sesaat Pram bimbang. Benarkah anak itu adalah anak perempuan itu, anak Sintya? Kalau memang benar, mengapa anak itu tak pernah mengatakan apapun tentang dirinya ataupun tentang ibunya? Apakah karena anak itu tak tahu ada hubungan apa antara ia dan ibunya? Apakah wanita itu tak pernah cerita tentang apa yang sebenarnya terjadi sebelum anak itu lahir ke dunia ini? Ataukah ada sesuatu di balik semua ini?
Pram resah. Ingatannya melayang ke masa lalu, saat itu, ke sebuah rahasia tak seorangpun mengetahuinya…

…………………


Delapan belas tahun Lalu…
Pram mengendarai mobilnya dengan hati – hati melewati tikungan demi tikungan. Ia baru saja pulang dari menyelesaikan sebuah proyeknya di sebuah desa kecil di daerah Jawa barat. Sesekali matanya melirik spion dan sesekali memandang deretan tebing – tebing tinggi yang dilewatinya. Sepi dan sunyi.
Namun tiba – tiba matanya menangkap seperti sesosok orang yang terbaring diantara semak – semak di bawah tebing curam itu. Pram berusaha menepis pa yang terpikir oleh otaknya. Tapi, akhirnya ia menghentikan mobilnya juga dengan mendadak, lalu mundur kembali ke tempat yang tadi ia yakini dimana ia melihat sosok terbaring itu. Dadanya berdegup kencang ketika menyadari bahwa penglihatannya ternyata tidak salah! Seonggok tubuh manusia!
Sosok itu tak bergerak. Tapi Pram yakin sosok itu adalah manusia. Ia lalu memutuskan untuk turun, lalu mendekati sosok terbaring tak berdaya itu.
Pram terkesiap. Wanita. Ternyata seorang wanita!. Pram meraba denyut nadi wanita itu. Ia lalu bernapas lega ketika didapatinya nadi wanita itu masih berdenyut. Tanpa menunggu lagi, segera digotongnya sosok itu ke mobilnya, lalu melarikan mobil itu dengan kencang menuju rumah sakit terdekat.
…………………………..

Pram berdiri dengan gelisah di depan kamar sebuah rumah sakit. Dua puluh menit sudah ia menunggui wanita itu, namun wanita yang tak dikenal itu belum juga siuman dan dokter masih belum keluar dari kamar itu. hatinya bertanya – tanya, apakah sebenarnya yang terjadi dengan wanita itu? korban perampokankah, perkosaankah, pembunuhankah, atau apa?
Pram menduga – duga dalam hati, sambil sesekali menguap. Sampai sebuah teriakan histeris yang berasal dari kamar yang ditunggunya itu mengagetkannya. Pram mencoba mendekati pintu, namun belum ada tanda – tanda pintu itu akan dibuka. Lalu ia mencoba mengintip dari celah – celah hordeng jendela.
Samar – samar ia bisa melihat seorang wanita (wanita itu) sedang meronta dan histeris. Para suster dan dokter tampak berusaha menenangkannya dengan susah payah. Dan.. lalu wanita itu terkulai lemah. Mungkin diberi suntik penenang, pikir Pram.
Selang beberapa detik, pintu kamar itu terbuka. Seorang dokter segera menghampiri Pram, “Maaf, apakah anda keluarga yang ada di dalam?” tanya dokter itu pada Pram.
Pram menggeleng, “Sebenarnya bukan, dok. Memang saya yang membawanya tadi kesini dan mengurus administrasinya, saya temukan dia dalam keadaan tak sadar, saya sendiri belum tahu siapa dia.”
“O.. begitu. Namanya Sintya, ia mengatakannya kepada kami tadi. Sekarang ia sedang istirahat.”
“Sebenarnya apa yang terjadi dengannya, dok?”
“Hanya ia sendiri yang tahu apa yang menimpanya. Kemungkinan ia mengalami suatu peristiwa yang membuatnya shok berat, dan ia sedang hamil. Saya khawatir kondisinya bisa berakibat buruk bagi bayinya. Mungkin nanti setelah ia tenang, anda bisa menemui dan menanyainya. Saya permisi dulu, saya sarankan anda menungguinya dulu sementara waktu.”
“Baik, dok. Terima kasih.”
Dokter itu berlalu. Tinggallah Pram dengan kebingungannya. Ia lalu mengambil handpone-nya kembali, lalu menelpon Tyas, memberitahukan pembatalan kepulangannya. Ia lalu melangkah masuk menuju kursi ruang tamu kamar itu. Sekilas melemparkan pandangan ke sosok yang terbaring tenang di ruangan itu.

…………………….

Suara sesegukan tangis membangunkan Pram yang tertidur di sofa itu. Pram mengerjab – ngerjabkan matanya, lalu melihat Sintya, wanita itu, tengah menangis. Pram mencoba mendekat.
“Maaf, saya yang membawa anda semalam ke sini.”
“Kenapa?” tanya wanita itu dengan kesal, “Kenapa?”
“Mengapa? Mengapa saya bawa ke sini? Karena saya ingin menolong anda.” Pram sedikit kesal dengan pertanyaan itu.
“Biarkan, kenapa nggak biarin aja saya mati? Biar saya mati.. saya tak pantas lagi untuk hidup” wanita itu tergugu. Tangisnya semakin kencang dan memilukan, seakan sedang menyesali sesuatu. Bibirnya mengucapkan kalimat – kalimat tak jelas. Pram menunggu sampai wanita itu menuntaskan tangisnya.
“Boleh saya bertanya tentang apa yang menyebabkan anda seperti ini? Saya janji akan membantu semampu saya.” Pram memberanikan diri bertanya.
“Nggak ada yang bisa bantu saya..!!”
“Saya akan coba.“Pram meyakinkan.
Wanita itu menyeka air matanya, ia terdiam beberapa saat, matanya menerawang jauh..
“Dia.. saya bertemu dengannya sudah lama, sejak saya bekerja di salah satu perusahaannya, dia bilang.. dia mencntai saya dan akan menikahi saya, tapi.. tapi dia malah menghancurkan hidup saya, dia meninggalkan saya, mencampakkan saya saat tahu saya sedang hamil, dan berpaling pada wanita lain. Ia menikah dengan wanita lain dan dia.. dia tidak mengakui anak ini..” wanita itu meraba perutnya.
“Saya sudah terlanjur berbohong pada keluarga saya bahwa saya saya sudah menikah beberapa bulan yang lalu. Ya, saya terpaksa berbohong demi anak ini, dan berharap ia akan segera menikahi saya walaupun hanya nikah sirri, dan kami bisa pulang menjenguk orang tua saya di kampung nanti bersama – sama. Tapi, dia tetap tidak mengindahkan permintaan saya. Ia malah pindah ke kota di mana wanita itu tinggal. Saya bingung..! saya ingin pulang, tapi saya tak berani pulang sendiri. Saya sudah terlanjur bilang kalau saya pulang bersama suami saya, tapi sekarang hidup saya sudah hancur, saya ingin mati saja.. biarkan saya mati..”
Wanita itu menangis lagi. Pram tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya duduk memandangi wanita itu dengan sedih. Sebuah pikiran lalu terlintas di benaknya.
“Berapa lama Nona…”
“Sintya, nama saya Sintya.”
“Ya, baik. Sintya, berapa lama anda akan menjenguk orang tua anda itu?”
“Orang tua saya di Sukabumi, biasanya hanya dua hari.”
“Hanya dua hari?”
“Ya, kenapa?”
“Saya rasa anda tak bisa pulang sendirian dengan kondisi psikologis seperti ini. Saya akan mengantar anda. Itu kalau anda tak keberatan dengan bantuan yang saya tawarkan itu.”
“Maksud anda?”
“Saya akan mengantar nona, kalau nona mengizinkan, setelah itu saya akan pulang.”
“Itu artinya… tidak! saya tak sanggup pulang. Saya tak sanggup menghadapi semua ini! Saya nggak bisa..! Saya nggak berani..!”
“Saya akan antar.”
“Imbalan apa yang anda harapkan dari saya?”
“Tidak ada.”
“Apa?!” Sintya terperanjat.
“Ya, tidak ada. Saya hanya ingin membantu saja. Tapi, sungguh saya tidak akan melakukan apa-apa selain memainkan peran yang akan anda berikan kepada saya di depan orang tua anda, entah sebagai teman, adik, sopir, ataupun yang lainnya. Semua terserah anda. Hanya itu. saya bersumpah.”
“Setelah itu?”
“Setelah mengantar anda saya langsung pulang, dan urusan selanjutnya adalah urusan anda, tapi saya sarankan anda istirahat dulu di sana sampai kondisi anda membaik. Kasihan, bayi itu tak berdosa. Akan lebih berdosa lagi kalau membiarkannya tersia – siakan. Mati tak akan menyelesaikan masalah. Setiap masalah pasti ada penyelesaiannya, walaupun itu harus menempuh jalan yang sulit. Jadi, hadapilah! Mengakui kebohongan dan keadaan yang sebenarnya memang sulit, tapi akan lebih sulit lagi kalau menyelesaikan kebohongan dengan kebohongan lagi..”
“Jadi?”
“Jadi, saya sarankan anda menceritakan yang sebenarnya kepada keluarga anda, saya yakin mereka akan mengerti.”
Wanita itu termenung. Lalu mengangguk dengan perlahan. Itulah awal perkenalan mereka. Pram dan Sintya.

……………………..

DORRRR!!!
Suara dan tepukan di bahunya membuat Pram kembali ke dunia yang sebenarnya. Dilihatnya Dinda cengengesan duduk di sampingnya.
“Dinda, ngagetin ayah aja!”
“Emang ada yang papa pikirin ya?”
“Nggak..”
“Bohong. Buaya kok mau dikadalin?”
“Emang ini buaya, ya?” Pram menunjuk Dinda.
“Ah, ayah mah gitu!” Dinda cemberut, “Ayo dong cerita ke Dinda!”
“Emang nggak, Cuma ingat masa lalu.”
“Ah, yang bener? Ada yang ayah rahasiakan ya ke Dinda?”
“Emang kamu merasa begitu?”
Dinda mengangguk, “Dinda kan udah gede, Yah.. Dinda kan udah bisa mengerti. Ya, kalau ayah nggak keberatan Dinda menawarkan diri lho untuk mendengarkan cerita atau masalah ayah.”
“Duh, bidadari kecilku udah dewasa nih ceritanya?” Pram mengacak rambut Dinda, “Tapi bener kok, ayah cuma inget masa lalu..”
“Ya udah, kalau nggak mau, Dinda nggak maksa!” Gadis itu cemberut.
Pram tersenyum, “Lho, katanya udah dewasa? Tapi kok cemberut gitu? Ngambek? Ok, nih, sini papa ceritain. Dulu, jaman dahulu kala, seribu tahun yang lalu..” Pram memulai ceritanya, tapi tiba-tiba..
“Stop, stop. Ih, ayah nyebelin! emangnya Dinda anak kecil apa? Pake mulai dari jaman dahulu kala..”
“Lha, trus apa dong?”
“Apa kek, waktu kek, tahun kek..”
“Iya, ya.. bidadari kecil, eh, Bidadari dewasa. Begini.. “
Lalu mengalir mengalirlah cerita Pram tentang ingatannya tadi, tentang Sintya. Dinda mendengarkannya dengan serius.
“Lalu…?”
“Lalu kami sempat bertemu beberapa kali setelah itu dan setahun kemudian baru ayah menikah dengannya, dengan Sintya.”
Dinda merasakan debar di dadanya lebih cepat dan semua saraf – sarafnya menegang, “Jadi.. jadi ayah punya istri lain selain bunda? Ayah ayah pernah mengkhianati bunda?”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Ayah menikahi Sintya atas saran dan persetujuan dan saran dari bundamu.”
“Bunda melakukan itu? mengapa?”
“Itulah yang sampai sekarang belum ayah mengerti. Ia merelakan berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Yang ayah tahu..Tyas, bundamu, adalah seorang bidadari, benar – benar seperti bidadari dan memiliki hati bidadari, sampai sekarangpun ayah tak tahu rahasia bidadari itu sehingga bisa setegar itu…”
“Lalu, dimana tante Sintya sekarang?”
“Ayah nggak tahu.”
“Apa bunda pernah bertemu dengannya?”
“Belum. Seharusnya kita, Ayah, bunda, dan kamu bertemu empat belas tahun yang lalu. Tapi, kecelakaan itu… ya, dalam perjalanan kesana terjadi kecelakaan itu, dan bundamu…” Pram tak kuasa meneruskan kata – katanya.
“Ya, Dinda mengerti. Tapi, kenapa setelah itu ayah tidak mau menemui siapa?oh, tante Syntya?”
Pram menatap Dinda sedih.
“Bukannya tidak mau. Enam bulan setelah kecelakaan itu, setelah ayah sembuh, ayah berusaha mencarinya ke rumah kami yang dulu, tapi kata para tetangga di sana, Sintya dan anaknya sudah pindah sejak beberapa bulan yang lalu, lalu papa mencari ke rumah orang tuanya, di Sukabumi, tapi mereka bilang, mereka tak tahu apa – apa tentang keberadaannya..”
Dinda manggut-manggut, dahinya berkerut.
“Ngg.. bukankah dia punya anak?”
“Ya, dua orang, yang satu mungkin kalau masih hidup, mungkin seumur kamu, karena waktu itu kalian lahir secara bersamaan, Cuma beda bulan. Sedang satu lagi waktu itu masih dalam kandungan. Ayah juga nggak tahu, laki – laki atau perempuan..”
“Berarti Dinda punya adik tiri?”
“Bukan, satu kakak tiri, dia lebih dulu lahir dari kamu. Dan satu adik tiri”
“Ya, kakak tiri dan adik tiri.” Ucap Dinda pelan.
Kepala Dinda kembali berusaha memecahkan semua kata – kata yang terekam di otaknya tadi. Sebuah rahasia besar. Tapi, anak - anak itu… di mana sekarang anak yang disebut – sebut papa sebagai saudara tirinya itu? satu tanya sudah terjawab, meninggalkan pertanyaan baru di hati Dinda. Ibu tiri, saudara tiri…
“Oh ya, gimana kerjaannya? Dapet di butik atau took Islam seperti saran Ryan itu?”
Dinda menggelang, “Nggak yah, susah! Pada penuh! Kayaknya Dinda nyari kerjaan di restoran biasa aja dulu deh, sambil lihat – lihat kerjaan lain.”
“Yaaah, ayah nggak jadi ngelihat bidadari ayah pakai jilbab dong!”
“Emang belum saatnya kali, yah! Dinda kasih Zahra aja gelar bidadarinya deh, kan Zahra pakai jilbab!”
Pram tertawa,” Kamu ini ada – ada aja.”
Dinda ikut tertawa.

…………bersambung ke bagian empat belas……………..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar