masak

Selasa, 22 Juni 2010

RB - Bagian Lima Belas

“Eh, Yan, kalau boleh aku tahu, ayah kamu kerjanya apa? Di mana?” tanya Dinda sore itu, ketika Ryan mampir ke tempat restoran dimana ia bekerja.
Ryan tampak gugup, lalu menyeruput tehnya, lalu memutar – mutar cangkir itu. Dinda memperhatikan semua gelagat itu dengan cermat dan penuh curiga.
“Kenapa? aku nggak boleh tahu ya?” tanya Dinda hati – hati. Ryan langsung menoleh cepat, ia memandang Dinda, “Nggak Din, aku udah nggak punya ayah sejak kecil. Aku, Zahra dan ibuku hanya hidup bertiga aja.”
“Memangnya setelah berpisah dengan ayahmu, ibu kamu nggak pernah nikah lagi?”
“Nggak. Pernah aku suruh nikah lagi, tapi ibu menolak.”
“Kenapa?”
“Ya nggak tahu. Emang kenapa sih Din kok kamu tiba – tiba cerewet begini soal keluargaku?”Ryan sedikit kesal.
“Nggak. Nanya aja. Nggak boleh?”
“Boleh aja, Cuma kan nggak biasanya begitu.”
“Kan baru sekarang ingatnya, jadi baru sekarang juga nanyanya. Oh, udah ya, ada tamu, Dinda ke belakang dulu.” Dinda beranjak dari duduknya. Tapi, tiba – tiba..
“Din, tunggu..!”
Dinda urung melanjutkan langkahnya. Ia segera berbalik, lalu menghampiri Ryan, “Ada apa? Ada yang mau kamu omongin?”
Ryan terlihat ragu – ragu,”Nggg, besok aku berangkat ke Bandung. Kuliah semester satu udah mau mulai. Aku.. aku..”
“Kamu kenapa?” tanya Dinda setenang mungkin.
“Aku minta maaf karena aku nggak bisa bantu kamu lagi dan mungkin aku akan titip Zahra.”
“Nggak apa-apa kok. Hati – hati ya di sana nanti. semoga semua yang kamu cita-citakan tercapai semua..”
“Oh ya, nanti sore aku dan Zahra diundang ke acara kegiatan sosial di kampung sebelah, kalau kamu mau ikut, nanti aku dan Zahra akan jemput kamu, mungkin untuk terakhir kalinya kita pergi bertiga ..”
Dinda mengangguk, lalu meninggalkan Ryan yang memandangnya sekilas dengan tatapan sedih untuk beberapa saat, lalu kembali asyik dengan pikirannya dan memutar – mutar cangkir tehnya, sambil sesekali memainkan sendok kecil yang tergeletak di atas piring di depannya itu.
Ryan termagu, tatapannya penuh dengan rasa was-was dan takut, “Ada apa sebenarnya? Mengapa Dinda tiba – tiba menanyakan hal itu, padahal selama ini sekalipun tak pernah dibicarakannya? Apakah Dinda sudah mengetahui semua rahasia itu? tentang aku, Zahra, dan Ibu? Kalau sudah, mengapa gadis itu tak langsung saja mengatakan hal itu? Ataukah aku harus mengatakan hal itu langsung kepadanya sebelum.. sebelum kami berpisah nanti? ah, tidak. Biarlah waktu yang akan menjawab semuanya, semua pertanyaan dan teka – teki ini.. ”
Ryan menghabiskan potongan terakhir puding yang tersisa di piringnya, lalu menyeruput teh terakhir yang tersisa di dasar cangkirnya, lalu bergegas menuju kasir dan meninggalkan restoran kecil itu dengan perasaan kacau tak menentu.

…………………………

Rumah Ryan dan Zahra…
Zahra keluar menuju ruang makan untuk membuatkan Dinda minum. Ryan duduk dengan kepala tertunduk, “Din, aku.. mau bicara..” Ryan memecah kebekuan sore terakhir itu dengan suara gemetar. Ini untuk pertama kalinya Dinda melihat cowok itu bicara gelagapan sampai gemetar seperti ini.
“Ya, aku juga mau bicara..” sahut Dinda.
“Oh ya, ya udah kamu aja duluan..”
“Nggak, kamu aja Yan.”
Ryan menarik napas panjang. Wajahnya serius, sungguh sangat berbeda dengan Ryan yang biasanya. Dindapun demikian. Ia memperhatikan dengan pernuh perhatian dan menunggu kata – kata yang akan diucapkan Ryan dengan berdebar – debar dan rasa penasaran yang meluap – luap.
“Nggg, aku.. Cuma mau tanya, apa kamu sudah tahu rahasia.. rahasia diantara kita?”
“Maksud kamu rahasia orang tua kita?”
Ryan tampak sedikir terkejut dengan jawaban Dinda, tapi sesaat kemudian ia tampak sudah bisa menguasai keadaan kembali.
“Jadi.. jadi kamu sudah mengetahuinya?”
Dinda mengangguk,”Ya, aku tahu secara nggak sengaja.”
“Ok, ok. Sekarang giliran kamu bicara.”
“Aku Cuma beberapa pertanyaan..” sahut Dinda pendek.
“Apa itu?”
“Apa.. kamu terlibat dengan semua kejadian yang kami alami selama ini? kenapa kamu dan Zahra mendekatiku selama ini? Kenapa tiba – tiba kalian memasuki kehidupanku?”
“Din!”sanggah Ryan cepat, “Aku tak mengerti maksud kamu.. ok, ok. Aku akan cerita.. begini..” Ryan menarik napas dalam – dalam, ia mulai bercerita.
“Aku akui, memang sudah lama memperhatikan kamu, sejak satu sekolah denganmu. Aku sendiri nggak ngerti Din, tapi yang jelas aku merasa ada sesuatu yang membuat aku terus memperhatikanmu. Mungkin itulah yang disebut ikatan batin.. Waktu itu aku belum sadar kalau kamu adalah anak.. om Pram. Mama pernah cerita padaku tentang papaku, tepatnya mungkin papa tiriku.. dan kehidupannya di masa lalu, tapi.. aku benar – benar nggak tahu kalau siapa dia.. sampai waktu itu, waktu acara pemilihan siswa teladan itu.. secara nggak sengaja aku liahat profile kamu, nama orang tuamu.. dan akhirnya aku menyelidiki semuanya, dan akhirnya akupun mengetahui kenyataan itu..” Ryan mengakhiri ceritanya.
“Hanya itu?”
“Ya”
“Kamu nggak dendam sama aku?”tanya Dinda.
“Dendam? Kenapa aku harus dendam?”
“Karena ayahku meninggalkan kalian..”
Ryan memandang Dinda dengan tatapan tajam,“Aku percaya sama ibu, aku tetap berpegang pada kata – kata ibu. Ibu selalu mengatakan bahwa ia justru berhutang budi sama ayahmu, jadi itu juga yang membuat aku dan Zahra berusaha menemani kamu, menjagamu.. jadi tak ada alasan bagiku untuk membencimu.. tak ada alasan bagiku untuk membenci saudara tiriku sendiri.. dan…”
Ucapan Ryan terputus. Rupanya tanpa mereka sadari Zahra sudah berdiri di pintu ruang tamu dengan wajah terkejut dan tangannya yang memegang nampan gemetaran tak menentu. Wajah Ryan pucat pasi. Dinda memandang Ryan dan Zahra secara bergantian.
“Zahra udah dengar semuanya, kak.”
“Maafin kakak, Ra. Kakak dan Ibu terpaksa merahasiakan semuanya dari kamu.”
“Kenapa kak? Kenapa harus dirahasiakan?” terlihat sedikit kilat kemarahan dimata gadis itu. Zahra meletakkan baki yang dibawanya di atas meja, lalu duduk di samping Ryan.
“Karena.. kakak dan ibu nggak mau kamu punya anggapan yang salah tentang papa kamu.”
Ryan dan Dinda saling berpandangan dan menghela napas panjang. Zahra diam. Matanya terlihat mulai berkaca - kaca.
“Jadi.. papa Zahra masih hidup, kak?”
Ryan mengangguk ragu dan takut. Zahra kembali diam untuk beberapa saat. Ryan dan Dinda ikut diam, tak berani bicara. Mendadak suasana hening mencekam menguasai ruang tamu kecil itu. Sampai akhirnya tanpa diduga…
“Alhamdulillah… ya Allah, Zahra masih punya ayah.. dan punya kakak.” gumam lirih itu meluncur dari bibir gadis itu. Ia menghambur memeluk Dinda.
“Alhamdulillah.. “ sambut Ryan dan Dinda. Lega.

…………bersambung ke bagian enam belas……………..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar