masak

Minggu, 13 Juni 2010

RB - Bagian Empat

Menjelang Puncak acara Pemilihan Siswa Teladan…

Satu per satu mobil mulai memadati halaman parkir SMU Teladan dengan teratur, sehingga dalam waktu setengah jam saja mobil – mobil itu sudah tersusun rapi memenuhi lapangan yang tak begitu luas. Para orang tua murid mulai memasuki gedung aula serbaguna, layaknya orang – orang yang akan menyaksikan sebuah pertunjukan besar. Sedangkan para anak mereka sibuk hilir mudik mencari teman masing – masing atau menunggu orang tua mereka yang masih belum datang, seperti halnya Dinda yang sedang mondar – mandir di depan lapangan parkir sekolah! (bukan jadi tukang parkir lho..! he..he..).

Gadis itu tampak gelisah. Sesekali tangannya melirik handpon mungil yang digenggamnya. Sesekali mulutnya bergumam tak jelas. Barangkali gadis itu bilang, “Kemana sih ayah? Bukankah ayah udah janji akan datang ke acaranya Dinda? Kok, malah belum datang? padahal acara sudah akan dimulai.. “

RRRrrRRR! RRrrrrRr!!

Akhirnya ponsel di tangannya bergetar juga. “Ayah”, tulisan yang tertera di layar. Dinda langsung mengangkatnya dengan tergesa-gesa.

“Ya, Ayah di mana sih? Acaranya udah mau mulai nih! Cepetaaan!”

“Maafkan ayah Din, ayah nggak bisa ke sana, ada pertemuan penting yang mendadak yang nggak bisa ayah batalkan. Kamu nggak apa – apa kan sendiri di sana? Nanti kalau..”

Click!. Tut. tut. Tut!

Tanpa menunggu kelanjutan kalimat selanjutnya, Dinda mematikan ponselnya dan memasukkan benda mungil itu kembali ke sakunya dengan wajah berlipat empat, lalu bergegas kembali ke dalam aula. Kesal! “Selalu… begitu! Kenapa sih ayah nggak pernah mikirin perasaan Dinda? Sekaliiii.. aja deh dia ngeluangin waktunya untuk hadir ke acara Dinda, sekaliiiii.. aja! Ayah egois!” Omel Dinda dalam hati. Kesal!

Sementara Itu, di sudut lain..

Ryan akhirnya memilih untuk menunggu tak jauh dari tempat Dinda berdiri. Tanpa disadari gadis itu, sepasang matanya memandang tajam ke tempat di mana Dinda berdiri, seakan – akan sedang mengawasi gerak – gerik gadis itu. Sinar matanya menyiratkan kalau ia sedang menunggu sesuatu yang akan terjadi. Satu menit, dua menit, lima menit… tak ada yang terjadi. Raut kecewa terpancar dari mukanya ketika gadis itu berbalik kembali ke dalam aula. Ia pun lalu menuju gerbang sekolah, “Masih ada kesempatan lain.” desisnya pelan.

…..……………….

Semua mata tertuju pada pertunjukan siswa yang sedang berlangsung. Tapi, tidak dengan Dinda. Ia mengikuti jalannya pertunjukan demi pertunjukan dengan gelisah dan tak berselera. Matanya menerawang tak menentu, pikirannya mengembara entah kemana. Sesekali ia melirik deretan wali murid yang berjejer di barisan kursi paling depan. Sekali lagi ia menarik napas kesal, sampai..

“Baiklah para hadirin, untuk pemenang siswa teladan SMU kita kali ini jatuh kepada Adinda Putri Maharani, dari kelas tiga IPA 2..!! untuk pemenang dan orang tuanya dipersilahkan untuk menerima penghargaan dan memberikan sepatah dua patah kata sambutan”.

Plok! Plok! Plok!. Riuh tepuk tangan membahana menyambut akhir Pengumuman yang disampaikan pak Teguh, kepala sekolah SMU teladan, sekolah Dinda. Wajah para finalis yang tadinya terlihat tegang, kini memancarkan kekecewaan. Tak terkecuali Selvy, yang walaupun akhirnya diumumkan menduduki runner up. Matanya yang agak kecoklatan memandang Dinda dengan tatapan sinis, penuh rasa iri dan kesal.

Dinda gelagapan. Anggi Cs segera beramai – ramai memeluk Dinda yang masih bengong, tak percaya dengan pendengarannya. Gadis itu hampir saja hilang dari peredaran eh, maksudnya dikerumuni orang - orang, kalau seandainya saja tak ada panggilan dari atas panggung aula yang kembali memintanya untuk maju ke depan untuk menerima penghargaan.

Dinda melangkah sendirian ke atas panggung di tengah kasak – kusuk penonton yang semakin ramai dengan perasaan bercampur aduk. Perasaan senang dan sedih meliputi. Tangannya bergetar ketika menerima hadiah dan mikrofon yang diangsurkan panitia kepadanya. Pikirannya langsung melayang dan hatinya berbisik dengan sedih, Ayah! Lihatlah Dinda ayah.. Ini semua untuk ayah! Seandainya saja ayah ada di sini..

“Assalamu‘alaikum warahmatullahi wabarokatuh. Pertama, syukur kepada Allah, lalu Makasih atas kesempatan yang para guru, juri, dan teman – teman berikan kepada saya untuk menerima penghargaan ini..” Dinda mengangkat tropi itu ke atas. Ia berusaha tersenyum, walau terasa getir.

Dinda terdiam sesaat. Para hadirin juga ikut diam menanti kat selanjutnya yang akan keluar dari mulut gadis itu.

“Saya juga mohon maaf, karena sesuai dengan apa yang disampaikan kepala sekolah tadi, seharusnya yang ikut naik ke panggung ini adalah saya dan keluarga saya. Tapi, karena suatu hal, mereka tak bisa hadir di sini. Ibu saya sudah tiada sejak saya kecil dan ayah saya tidak bisa hadir saat ini, but thank’s for them! ” Dinda mengacungkan tropinya sekali lagi, “Dan untuk para orang tua yang bisa hadir di sini, saya bangga Pak, bu, kebahagian karena menerima penghargaan ini tidak akan sebanding dengan kebahagian karena kehadiran kalian di sini, saya yakin semua itu dirasakan oleh teman – teman saya yang di sini. Sekian dari saya. Terimakasih.” Dinda kehabisan kata – kata. Matanya terasa perih menahan agar air mata itu tak menetes. Seketika aula itu langsung diliputi suasana haru biru.

Dengan tertunduk gadis itu segera turun dari podium diiringi tepuk tangan yang semakin membahana sampai gadis itu kembali ke tempat duduknya. Ingin rasanya Dinda menangis, kalau seandainya saja teman – temannya tidak langsung menyalaminya dan mengucapkan selamat saat itu. Hatinya berbisik, kalau seandainya boleh memilih antara penghargaan dan kehadiran ayah saat ini, tentunya ia akan lebih memilih ayah ada di sini, meskipun tak menang. Tapi lagi – lagi hanya seandainya dan berandai – andai..

Sementara itu..

Di sudut ruangan, seorang wanita menyaksikan pemandangan yang mengharukan itu dengan tatapan penuh arti. Ia terlihat bingung dengan semua yang dikatakan gadis yang berdiri di depan itu. Hatinya berbisik, berusaha menampik apa yang sekarang ada di pikirannya. “Tidak, Tidak. Itu tak mungkin!”, desisnya pelan.

…………………….

Malam hari, di hari yang sama..

“Udah dulu ya Din, aku pulang dulu, nggak enak udah malem, makasih udah nemenin aku makan malam.” ucap Fery ketika mereka sudah sampai di depan rumah Dinda.

Ya, malam ini adalah malam yang dijanjikan Fery waktu itu, sekaligus ucapan selamat untuknya dari cowok itu.

“Makasih juga untuk makan malamnya.” balas Dinda.

Fery tersenyum. Lalu hening sesaat. Sampai..

“Hei!! Kok malah bengong sih? Dinda tinggal masuk nih, mau mampir dulu nggak?”tegur Dinda yang tahu - tahu sudah ada di jendela samping Fery. Fery gelagapan.

“Ngg, gimana ya? Tapi..” Fery ragu – ragu.

“Udahlah, yuk!” Tanpa menunggu persetujuan Fery, Dinda langsung meninggalkannya. Dengan geleng – geleng kepala akhirnya Fery mengikuti Dinda turun dan dengan ragu-ragu memasuki rumah itu.

Dinda mempersilahkan cowok itu duduk, “Mau minum apa?” tanyanya. Cowok itu menggeleng.

“Nggak usah repot, Din. Terserah kamu aja.”

“Dingin atau panas?”

“Nggg, dingin aja.”

Dinda lalu meninggalkan Fery menuju dapur dan bergegas membuatkan minuman dingin. Namun baru beberapa detik cowok itu duduk, tiba – tiba ia tampak terkejut ketika melihat sebuah figura yang terpajang tak jauh dari sudut ruang tamu . Matanya menyipit, seperti memperhatikan sesuatu yang aneh dan menarik dari photo dalam figura itu.

Dinda yang sudah selesai membuatkan minuman dan kini tengah meletakkan gelas berisi sirup itu di depannya ikut bingung ketika menyaksikan Fery yang masih tak berkedip. Dinda heran, “Kenapa sih? Kok bengong? Ngeliatin photo itu?”

“Nggak, nggak apa-apa. Ini.. siapa?” tanya Fery ragu.

“Itu photo ayahku.”

“Ayah kamu?”

“Iya, kenapa?” jawab Dinda dengan nada heran dengan pertanyaan itu.

“Ngg, nggak. Oh ya, aku lupa tadi aku ninggalin kerjaan penting, kayaknya aku harus pulang sekarang deh Din, nggak apa – apa kan?”.

“Kerjaan?”

“Ya, tugas buat besok”

“Kok buru – buru amat?”

Eng.. iya, soalnya bahannya banyak banget. Maaf ya Din, aku nggak bisa lama – lama. Nggak apa – apa kan?” Fery memasang wajah memelas.

Dinda cemberut, tapi akhirnya gadis semampai itu mengiyakan permintaan cowok itu, “Nggak apa- apa, tapi kamu minum habiskan dulu minumnya, ok?”

Fery menuruti kemauan gadis itu. ia langsung menghabiskan minumannya, lalu buru – buru pamit. Dinda mengantarkan Fery sampai pintu.

“Ya udah, hati – hati ya!”

Fery mengangguk, “Iya, Bye!”

Dinda balas mengangguk. Fery berbalik meninggalkan Dinda juga melangkah masuk yang masih dengan senyum mengembangnya.

Sementara itu sesampainya di mobil, Fery ternyata tak langsung pergi. Ia hanya duduk di belakang kemudi. Matanya masih terus memperhatikan bayangan Dinda yang menjauh dan akhirnya hilang di balik daun pintu yang menutup. Pikirannya kembali melayang kepada figura yang terpajang di ruang tamu tadi.

Benar! Pasti ia tidak salah lihat. Pram, pasti laki – laki itu adalah Pram! Sosok lelaki yang selama ini paling dibencinya. Karena lelaki itulah ia harus kehilangan papa untuk selamanya! Ya, Fery tidak akan lupa wajah lelaki yang menangis meminta maaf kepada mama itu waktu. Tapi, ayah? Dinda memanggil lelaki itu dengan panggilan ayah? benarkah hubungan Pram dengan Dinda adalah ayah dan anak? Mengapa ia tak pernah tahu selama ini? Mungkinkah…

Fery buru – buru mengeluarkan ponselnya dari kantong dan menekan sebuah nomor yang sepertinya sudah begitu hapal di kepalanya. Seseorang di seberang sana langsung menjawab telponnya.

“Halo, sialan lu ya!” maki Fery.

“Lu kenapa, kok tiba – tiba mencaci – maki gw?” tanya suara itu.

“Ya, kenapa lu nggak bilang ke gw kalo Dinda adalah anak Pram? Laki – laki itu?” sahutnya ketika seseorang di seberang sana sudah mengangkat telponnya.

“Oh, ckk, ckk. Sang pangeran rupanya sudah tahu identitas cinderellanya. Fery, Fery, Fery, justru lu harus makasih kan sama gw?”

“Makasih? Makasih buat apa?”

“Masa lu belum ngerti juga. Gw tahu lu cerdas Fer, tapi gw lebih cerdas. Gw tahu semua rencana yang akan mempermudah pembalasan lu. Gw nggak salah kan? Makanya lu harus bilang terima kasih sama gw ya, Fery sayang? Ha ha ha! Click! Tut.. tut..!” Tanpa menunggu pertanyaan lebih lanjut, suara di sebarang itu segera memutuskan telpon.

Fery bertambah kesal. Di bantingnya handpon mungil itu ke jok mobil dengan kesal. Dahinya mengernyit beberapa saat, memikirkan perkataan si penerima telpon tadi. Makasih? Apa maksudnya?

Tiba – tiba saja senyum manis cowok itu mengembang dan langsung berubah menjadi sebuah seringai. Seperti seringai seekor srigala yang menemukan santapan lezat yang terhidang di depannya. Thank’s!. hebat! Sebuah rencana seperti tergambar langsung dibenaknya. Rencana yang begitu sempurna! Sedetik kemudian, mobil keluaran terbaru itu meluncur menembus kegelapan dan menyisakan kesepian malam.

…………………….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar