masak

Rabu, 23 Juni 2010

RB- Bagian Enam Belas

Tiga bulan kemudian…

Tiga bulan sudah berlalu sejak rahasia Zahra dan Ryan terbongkar. Artinya, sudah tiga bulan juga mereka menyimpan rahasia itu dengan rapat. Ya, mereka akhirnya memutuskan untuk menyimpan dulu sementara hal itu, menunggu sampai keadaan ayah Dinda benar – benar pulih dan mereka siap untuk menguak kebenaran dan membuka luka lama itu.

Uhuk!! Uhuk!!

Dinda berusaha menahan batuknya yang semakin menjadi – jadi dengan sesekali menutup mulutnya dengan tangan kirinya yang menggenggam tisu. Sekotak tisu yang tadi pagi dikantonginya terlihat hampir habis. Sementara tangan kanannya sibuk membilas piring kotor yang tak ada habisnya. Ya, Dinda mengikuti saran ayahnya, walaupun untuk itu ia harus menerima ditempatkan di tempat cucian dan bagian bersih – bersih, agar batuknya tidak mengganggu tamu yang sedang makan.

“Udahlah Din, kalo kamu sakit, kamu istirahat aja di belakang, aku masih bisa kok ngerjain ini semua, lagi pula agak sepi kok tamu hari ini..” Nana, teman se-bidang Dinda terlihat prihatin dengan kondisi Dinda.

“Iya Nda, aku juga bisa kok bantuin Nana.” Agus yang rada – rada kemayu ikut menimpali.

Dinda tersenyum, “Nggak pa – pa kok Na, Gus, lagian tanggung! “ jawab Dinda. Nana dan Agus tak berkata apa – apa lagi. Rupanya seminggu penuh bergaul dengan Dinda sudah membuat kedua orang itu mengerti dengan karakter Dinda yang sedikit keras kepala alias susah dibilangin!

“Oh ya Din, cowok yang dulu nganterin kamu waktu pertama kali kerja itu, trus yang suka mampir itu sekarang kemana? Keren juga tuh! Tapi kok nggak pernah kelihatan lagi sih?” tanya Nana.

“O.. Ryan, sekarang dia di Bandung, kan udah mulai kuliah.. ntar sebulan sekali juga dia pulang. Kenapa Na? ”tanya Dinda sambil terus membereskan meja yang kotor dan memasukkan piring yang sudah terpakai ke dalam baskom yang dibawanya.

“Kenapa? Mau daftar jadi kakak ipar gw?”

“Kakak ipar?”

“Ryan kan saudara tiri gw, anak tiri bokap gw..”

Nana ternganga kaget, “Oh, my God!”. Ia menepuk keningnya.

Tiba – tiba pikiran jahil Dinda muncul untuk terus melanjutkan godaannya. “Kenapa? Nggak mau punya adik ipar sebaik gw? Gw baik lho? Lu nggak akan nyesel deh jadi adek gw..!” Dinda sok promosi.

“Hueeekkkkk! Nggak deh..!”Nana kontan berteriak, namun gadis itu tetap saja tak mampu menyembunyikan mukanya yang bersemu merah. Dinda ketawa ngakak. Nana lalu buru – buru meniggalkan Dinda, sebelum gadis itu sempat menggodanya lagi.

Namun, baru akan mengambil piring kotor lagi ketika langkahnya mendadak berhenti. Mata gadis itu terbelalak begitu melihat sekelebat dua bayangan yang baru memasuki restoran. Fery? Dan.. Anggi? Mengapa mereka berdua ada di sini? Ada hubungan apa diantara mereka berdua? Mungkinkah mereka…

Dinda urung melanjutkan langkahnya. Dengan tergesa – gesa, ia kembali ke belakang membawa tumpukan piring kotor ala kadarnya yang sudah terkumpul. Tanpa mempedulikan tatapan heran rekan – rekannya, Dinda melepaskan celemeknya.

“Na, Gus, gw istirahat dulu ya sebentar!” ucap Dinda.

Nana dan Agus jadi bengong. Tadi disuruh istirahat nggak mau,malah ketawa – ketawa, eh.. kok sekarang tiba – tiba minta pensiun, eh, istirahat mendadak?

Beberapa detik kemudian barulah kedua bujang dan gadis itu mengerti perihal yang menyebabkan sahabat baru mereka itu buru – buru ke belakang, yaitu ketika melihat tatapan seorang cowok yang mengikuti kepergian Dinda yang menghilang dari balik pintu ruang istirahat. Keduanya langsung geleng – geleng kepala.

Sementara itu…

Fery terlihat kaget melihat sosok seperti Dinda ada di restoran itu. berkali – kali matanya mengerjap, mencoba meyakinkan bahwa yang dilihatnya adalah Dinda. Hatinya bertanya, benarkah itu Dinda? Tapi, Mengapa gadis itu ada di sini? Bekerjakah?

Cowok itu terus memandangi punggung yang langsung menghilang dari balik daun pintu. Fery jadi bimbang dan ragu dengan penglihatannya. Dipandanginya sekali bayangan Dinda dan Anggi yang duduk di sampingnya dengan cuek dengan ber-SMS ria secara bergantian dengan hati sedih dan teriris - iris.

Dinda. sebenarnya ada rasa tak tega di hatinya melihat keadaan gadis itu, tapi ia harus bagaimana? Anggi.. Bagaimanapun Anggi sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya dan tak mungkin ia menolak keinginan gadis itu.. tak bisa!

Fery memandang bayangan Dinda dan Anggi sekali lagi. hatinya bimbang. Ah, persetan dengan semuanya!. Akhirnya Fery bergegas kebelakang meninggalkan Anggi yang kini memandangnya dengan kesal. Fery bergegas menghampiri dua sosok yang tadi dilihatnya bicara akrab dengan Dinda. Nana dan Agus.

“Maaf mbak, mas, bisa saya bicara dengan mbak yang tadi bicara sama Mbak?” tanya Fery. Dinda yang tadinya berniat memejamkan mata sebentar, jadi urung begitu mendengar samar – samar percakapan di luar.

“O.. mbak Dinda, sebentar ya mas.” Jawab Agus, yang langsung disambut dengan sikutan oleh Nana. Agus mengaduh, lalu berlari ke belakang, diikuti oleh Nana.

Tanpa menunggu Nana dan Agus bicara padanya, Dinda segera bangkit dari posisi tidurnya dengan wajah kesal dan enggan. Gadis itu segera menanggalkan celemek yang tadi masih menempel di tubuhnya, lalu bergegas menghampiri sosok Fery.

“Din, saya mau bicara.” pinta Fery.

“Saya lagi kerja.” Jawab Dinda ketus.

“Tolong, Din! lima menit aja kasih saya waktu, saya janji setelah itu saya akan pergi..” Fery memohon dengan wajah memelas.

“Ok, kamu Cuma punya waktu lima menit, setelah itu kamu harus pergi dari hadapan saya.” Ucap Dinda dingin. Nana dan Agus yang tadinya berniat nguping, jadi mengkerut. Keduanya lalu menyingkir pelan – pelan. Sama cowok cakep kok galak? Syereeemm!

Fery mengangguk. Dinda melangkah menuju ruang belakang kafe yang agak sepi. Tak dihiraukannya pegawai kebersihan yang sedang membereskan tempat itu memperhatikannya dengan penuh heran. Fery mengikutinya.

“Din, maafkan sikap saya selama ini, tolong..” ucap Fery.

Dinda terbelalak,” Maaf ? Maaf untuk apa, ya?” tanya Dinda dingin.

“Karena saya udah nyakitin perasaan kamu, karena..”

“Karena apa?”

“Atas semua salah saya selama ini.”

“Kamu nggak salah, kok. Itu memang pantas aku dapatkan.”

“Nggak Din, saya tahu saya salah, karena itu saya minta maaf..”

“Maaf? Kenapa semua orang harus minta maaf sama aku sekarang? Kenapa begitu mudahnya?” tanya Dinda. Mata gadis itu memerah menahan semua perasaannya, “Kenapa baru sekarang? Kemana kamu pada saat aku butuhkan? Kemana kamu? Kalian? Nggak Anggi, nggak kamu.. semua sama! Apa kalian semua udah nyesel ninggalin Dinda yang tebece ini? aku ini masih tebece, jadi belum pantas untuk kalian dekati! lagi pula aku ini Cuma seorang pelayan, beda sama kalian yang orang kaya!”

Fery tertunduk,”Aku tahu, karena itu.. “

“Karena itu apa?! Saya nggak butuh rasa kasihan kamu, saya udah nggak butuh kamu, aku udah tenang dengan keadaanku sekarang, tolong jangan ganggu lagi, aku bahagia dengan hidupku sekarang, jadi tolong biarkan aku tetap bahagia sebentar saja..” Dinda berusaha menahan air matanya yang semakin berdesakan untuk segera keluar. Tidak! Aku harus kuat!

“Din, tolonglah Din, aku sama Anggi..” Fery memohon dengan wajah memelas.

Dinda memberi isyarat dengan tangan kirinya, “Please Fer, Aku nggak mau denger penjelasan apa – apa Fer, semua yang aku lihat sudah memberikan jawaban, aku nggak perlu penjelasan apa – apa lagi dari kamu, waktu kamu udah habis, tinggalin aku sekarang juga!”

“Aku dan Anggi..”

“STOP!” potong Dinda,”Aku udah bilang, tinggalin aku sekarang atau aku akan teriak. Cepat!”

Fery menurut. Dengan langkah berat ia meninggalkan Dinda yang masih berdiri di tempatnya. Tanpa suara, air mata mengalir deras di pipinya. Hatinya terasa hancur berkeping – keping.

Sementara itu di belakangnya Dinda tampak mulai terhuyung – huyung.

“Ya Allah, kuatkan Dinda.. Ryan, tolong Dinda, bantu Dinda menjalani semua ini, bantu adikmu ini.. Uhuk! Uhuk!” tanpa sadar Dinda bergumam lirih.

Uhuk! Huk!

Dinda mencoba menahan batuknya yang semakin menjadi – jadi dengan membekap mulutnya lebih erat dengan tisu pada tangan kanannya. Tiba – tiba mata gadis itu terbelalak melihat tisu itu. Darah! Ada darah di tisu itu! seketika Dinda merasakan dadanya terasa begitu sesak dan oksigen yang semakin menipis. Brukk!. Tubuh lemahnya ambruk. Gelap.

Dalam bayangan yang semakin menghilang Dinda mendengar suara-suara panik di sekelilingnya…

……………….

Dinda membuka matanya perlahan. Bau steril obat langsung menusuk hidungnya. Di sampingnya, tampak Agus dan Nana memandangnya dengan wajah pucat dan cemas.

“Na, gw di mana?” Dinda berusaha untuk bangkit. Tangan kirinya memegang kepalanya. Sakit! Nana segera membantu gadis itu bangun.

“Lu tadi pingsan, gw sama Agus langsung aja bawa lu ke klinik ini.” Nana ikut memijit kepala Dinda.

“Iya Din, makanya dari tadi gw bilangin lu biar istirahat, eh lu nya nggak mau, gini deh jadinya.. mana gw kan takut kalo ngeliat orang pingsan. Emang lu kenapa sih Din?” tanya Agus.

Dinda tertegusn tapi bibirnya berusaha tersenyum, “Thank’s ya udah nolong gw, sebenernya gw tebece Na, Gus.. temen – temen gw pada ngejauh dan ini kali kedua gw putus berobat lagi untuk kedua kalinya, sejak gw terlalu sibuk ngurusin bokap gw, gw kehabisan uang untuk biaya perawatan bokap.. hmm, tapi please jangan bilang bokap gw ya keadaan gw kayak gini, please..!”Dinda memohon. Nana dan Agus memandang Dinda beberapa saat dengan tatapan iba dan bingung. Dengan ragu – ragu, akhirnya keduanya mengangguk.

“Ok, tapi lu harus janji nggak maksain lagi..” jawab Nana.

“Dan harus istirahat di sini sampai sore, ok?” sambung Agus.

Dinda mengangguk dengan penuh terima kasih kepada kedua sobatnya. Nana dan Agus tersenyum.

“Oh ya, kata dokter yang periksa lo tadi waktu pingsan, lu juga nggak boleh banyak pikiran, ntar kalo udah baikan, lu boleh balik ke restoran. Tenang aja ntar gaji lu gw yang ambilin, jadi ntar sore lu tinggal ambil ke gw, ntar gw juga yang bilang sama bos, ok?”

“Iya, makasih ya, lu bedua baik banget sama gw..”

“Yah, namanya juga temen Din, kan lu sendiri yang bilang kalau sahabat sejati itu “ada di waktu senang dan susah” Ya kan, Na?” Agus melemparkan pandangan ke Nana. Nana balas mengangguk. Ketiganya lalu tersenyum.

Dinda balas menatap Nana nakal, “Serius? Bukan karena mau jadi ipar gw?” goda Dinda.

Muka Nana kembali bersemu merah, “Huss!! Lu ada – ada aja. Ya nggaklah.. lagian mana mungkin sih anak kuliahan yang pinter dan cakep kayak Ryan mau sama gw, Din..”

“Kalau mau? Cinta kan tak kenal kasta.” Dinda tambah mengoda dengan memijam istilah lagu pop yang sempat ngetop tahun sembilan puluhan itu.

Muka Nana tambah memerah. “Udah ah! Ok, Gw sama Agus cau dulu ya, istrahat ya! oh ya, gw lupa, bukannya ada program obat gratis dari pemerintah Din buat penderita tebece?”

Ada. Cuma itu buat yang baru permulaan, kalau yang udah pernah putus berobat sampai dua kali kayak gw udah susah ngurusnya, harus kesinilah, rujuk kesitulah.. ada sih yang mau ngasih langsung, Cuma gw harus bayar juga obat – obat lainnya, ya vitaminlah katanya, atau apalah, tapi intinya tetap aja mahal! Ya, kecuali kalau baru berobat permulaan, mungkin bisa langsung dapat obat. Gw waktu itu pernah ke klinik deket rumah, gw kan nggak tahu apa – apa ya? Gw cerita aja kalau gw udah pernah putus berobat dua kali.. eh, bukannya langsung dikasih obat, malah tuh dokter nggak mau ngasih gw obat, gw malah disuruh ngurus surat dan macem – macem dulu ke rumah sakit kota..”

“O, gitu, ya udah ya, gw tinggal, bye..” Nana menggenggam tangan Dinda, lalu melangkah menuju pintu.

“Iya, bye juga Din, istirahat ya?” ujar Agus mengikuti buru-buru, takut ditinggal Nana!.

Dinda tersenyum dengan melihat tingkah kedua sobatnya itu. Matanya terus memandangi punggung dua sobat barunya yang hilang dari balik daun pintu. Gajian, ya! Untungnya bos restoran tempatnya bekerja sekarang itu mau berbaik hati pada Dinda dan bersedia memberikan gaji tiap minggunya, sehingga Dinda tak begitu kesulitan dalam pengeluaran sehari – harinya.

Nana dan Agus. Mengingatkan Dinda pada sahabat – sahabatnya waktu di SMU dulu, bagaimana ya kabarnya mereka sekarang? Pada kuliah di mana? Ah, mungkin benar kata orang, sahabat itu selalu datang dan pergi. Tapi, di manakah yang namanya sahabat sejati?

……………….

“Lam lei koem! Ayah..! Dinda pulang nih! Hari ini Dinda gajian lho.. Tau nggak Dinda bawa apaan buat ayah? Pasti deh ayah suka, Dijamin!” Dinda berteriak nyaring setelah membuka pintu dengan kunci serap yang di bawanya. Wajahnya berusaha menyembunyikan apa yang telah menimpanya. Ceria. Kantong plastik bawaannya diletakkannya dengan hati – hati di atas meja makan berukuran kecil itu. lalu dengan hati – hati gadis itu melangkah ke depan pintu kamar ayahnya, dengan niat mengagetkan pria itu ketika sang ayah membuka pintu nanti.

Namun, beberapa detik kemudian.. pintu yang yang diharap – harap akan terbuka tak juga menunjukkan tanda – tanda akan terbuka. Perasaan Dinda langsung was – was. Didorongnya handel pindu perlahan. Kosong! Kamar ayah kosong!

Kemana Ayah? Kenapa tak bilang kalau mau pergi?

Mata Dinda menyapu seisi kamar. Tiba – tiba matanya tertuju pada secarik kertas yang tergeletak di lantai kamar, di samping tempat tidur ayahnya. Sebaris tulisan tangan tertera di sana. Sebuah alamat lengkap tertulis di sana. Dinda mengenali tulisan itu sebagai tulisan ayahnya.

Apa ini? Kening Dinda mengernyit. Otaknya mencoba mengolah dan memahami maksud dari tulisan tersebut. Komplek Ini rasanya tak begitu jauh dari sini, tapi ini rumah siapa? mungkinkah Ayah pergi menemui seseorang yang memiliki nomor telpon ini dan di tempat yang tertulis di kertas ini? lalu kalau ternyata benar, siapa orang ini? kenapa ayah tak bilang kalau dia akan pergi?

Dinda memasukkan kertas itu ke dalam kantong jaketnya dengan tergesa – gesa. Disambarnya kembali tas yang tadi di sandangnya tanpa mempedulikan belanjaan yang tergeletak di meja. Pikirannya hanya satu, Ini saatnya Din menyelesaikan semuanya! ia harus mencari tahu siapa yang ditemuinya dan menjawab semua teka – teki yang memenuhi kepalanya selama ini, termasuk masalah tante Tari!

…………bersambung ke bagian 17……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar