masak

Jumat, 11 Juni 2010

RB - Bagian Tiga

Jakarta, Masih pertengahan Januari 2005..
Hari masih pagi. Udara masih terasa segar dan sejuk, karena belum tercemar polusi asap kendaraan yang lalu lalang. Satu persatu mobil mobil berhenti di depan gerbang bangunan itu untuk menurunkan penumpangnya di sana, termasuk Dinda yang seperti biasanya diantar oleh sopirnya, pak Maman. Gadis itu bersiap untuk turun ketika pak Maman berbicara padanya..
“Maaf non, nanti pulang sekolahnya mau dijemput atau pulang sendiri?” tanyanya.
Dinda berpikir sesaat, mengingat – ingat acaranya nanti siang, “Nggg.. nggak usah deh, pak. Nanti Dinda pulang sendiri aja. Oh ya, pak, ini…” Dinda mengeluarkan sebuah amplop berukuran sedang dari tasnya, lalu menyerahkannya ke lelaki yang sudah puluhan tahun mengabdi di keluarganya itu.
Pak Maman menerima amplop itu dengan kening berkerut, “Ini apa, non?”
“Ini undangan acara sekolah Dinda, masih lama sih acaranya, tapi tolong kasih ke ayah ya, pak. “
“Baik, non. Tapi, kenapa non nggak kasih langsung aja ke tuan?”
“Tadi malam Dinda lupa, tadi ayah juga udah berangkat duluan, ya udah, hati – hati ya, pak!”
Pak Maman mengangguk, “Baik, non.”
BLAMM!! Dinda menutup pintu mobil, lalu bergegas memasuki gerbang sekolahnya. Namun baru beberapa saat ..
“Hei Din, selamat ya! elo masuk ke finalis pemilihan siswa teladan, lho!” Selly, Anggi, Mia dan Desi langsung menyambut Dinda begitu ia memasuki gerbang sekolah. Tas yang masih tersampir di bahu mereka menandakan bahwa keempat gadis itu juga baru tiba dan belum sempat ke kelas, sama seperti Dinda.
Dinda menatap para sahabatnya tak percaya.” Ah, yang bener? Masa sih?” tanya Dinda tak yakin, ”Kata siapa?”
Anggi, Selly, Mia, dan Desi tidak menjawab pertanyaan Dinda. Keempat gadis itu malah menyeret Dinda menuju mading sekolah.
Dinda menatap mading itu dengan tak mengerti, sampai akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya. Namanya tercantum di sana! Di deretan nama finalis siswa teladan!. Dinda menatap papan itu dengan tak percaya. Sedetik kemudian, senyumnya langsung mengembang. Namun..
“Biasa aja ya, kasian amat sih, kayak ngeliat apaan aja..”.
“Iya, gitu tuh norak!”
“Mending kalo bisa menang!”
Suara kasak – kusuk dari belakang membuat kelima gadis itu menoleh. Selvy and the gank, yang selama ini menganggap Dinda Cs sebagai musuh, sedang menatap mereka dengan pandangan sinis. Dinda baru mengerti, ketika ia membaca pengumuman itu sekali lagi. Ternyata Selvy termasuk ke dalam deretan data yang terpajang, alias finalis juga.
“Apa lu bilang?”. Balas Selly tak kalah sengitnya. Gadis mungil ini emang cepat emosian. Nggak usah dipancing – pancing juga dia bisa naik darah. (emangnya pompa air yang lagi ngadat, harus dipancing dulu? he..he..).
“No – rak!” Jawab anak yang agak gemuk.
“Padahal udah pasti nggak menang, ya Selv?” Kali ini si kuncir kuda ngomong sambil menghampiri dan menunjuk Dinda Cs.
“Belum tau dia siapa yang akan menang, Selvy.. belum tau dia gimana strategi buat menang, Lihat aja ntar Din, lu nggak bakalan bisa menang. Ya nggak Sel?” sambung si kuncir kuda lagi. Selvy yang dituju hanya memandang Dinda dengan tatapan yang tak dimengerti oleh Dinda.
“Apa lu bilang?” sambar Anggi.
“Gw bilang lu semua norak!”. ujar gadis berkuncir tengah.
“Hei, berani lu ya? Lu tuh yang norak!” Anggi menatap si kuncir kuda dengan berani. Kesel.
“Yang satu sok segalanya, yang lain?” lanjut gadis yang satu lagi.
“Kayak buntut aja, nempel kemana – mana, Buntut!” si rambut panjang Mila, menjawab ucapan temannya.
Sekarang bukan hanya Selly yang terlihat marah. Keempatnya seperti siap untuk tempur. Untunglah Dinda segera melerai, sebelum perang saudara itu dimulai.
“Udah ah, jangan diladenin, yuk!” ucap Dinda.
Dinda menarik tangan ke empat sobatnya untuk segera pergi dengan susah payah menjauhi Selvy Cs. Mereka berniat menuju kelas masing - masing. Hanya Selly yang masih mengomel, “Kenapa sih lu Din? Biarin aja kita kasih dia pelajaran sekali – kali, biar tau rasa! sombong banget sih tuh anak! Nyebelin banget!”
Dinda berusaha menenangkan Selly, “Nggak ada gunanya Sell, paling – paling kita Cuma bakalan nambah masalah aja kan?”
Selly mengangguk pelan, lalu diikuti yang lainnya.“ Trus, kan siapa yang menang nanti tergantung hasil pemilihan dewan juri, ya kalo dia yang pantas menang , pasti dia yang menang. Kalo gw, ya gw.. kita liat aja lah nanti. Lagi pula, kalau gw kepilih, ntar kasian dong lu semuanya! hadiah buat pemenang tahun ini kan dapet beasiswa belajar ke Australi, ya walaupun cuma beberapa bulan kan tapi kan lumayan, sepi kan tanpa gw?” Dinda cengengesan. Yang lain ikut mengangguk – anggukkan kepala.
“Tapi Din, kalau Selvy yang menang kan dia bisa lebih sombong tuh! Bisa – bisa kita diinjak – injak lagi!, ya?” Desi menimpali.
Anggi, Mia dan Dan Selly mengangguk mengiyakan. Dinda mengangkat bahu, “Up to her laaah!”
Setiap tahun Sekolah Teladan, sekolah Dinda, memang memilih satu di antara murid berprestasi. Murid yang terpilih akan mendapat beasiswa belajar di luar negeri untuk satu tahun. Begitupun dengan tahun ini. Negara tujuan tahun ini adalah Australia.
Australia, negeri kangguru. Tempat impian yang sejak kecil ingin sekali dikunjungi Dinda dan yang selalu dilihatnya dari acara – acara televisi saja. Dinda masih ingat, dulu bundanya pernah berjanji akan mengajak putri kecilnya ke negeri itu kalau Dinda sudah sedikit besar. Ah! bunda, janji itu tak akan pernah terlaksana. Ayah? Sejak itu ayah tak pernah peduli tentang mimpi Dinda..
Hmm, tapi Dinda bukannya tidak optimis, tapi ia sendiri sebenarnya ragu dan takut akan mengecewakan teman – temannya. Karena ia tahu sendiri, sebelum pemilihan nanti pasti akan ada seleksi ulang, wawancara, pooling, dan tanya jawab mengenai non akademis dan akademis. Walaupun seisi sekolah tak meragukan otak gadis itu, tapi Dinda masih ragu karena belakangan ini perhatian dan pikirannya didominasi oleh tebece yang sampai saat ini masih tak jelas perkembangannya dan bahkan cenderung memburuk dari sebelumnya. Ya, jadi mungkin wajar saja nanti kalau yang keluar sebagai pemenang nanti adalah Selvy atau yang lainnya, walaupun penilaiannya nggak cuma dari itu. Lebih dari itu, ada satu masalah yang mungkin akan mengganjal kemenangannya nanti (kalo menang lho!). Dinda kembali gundah.
Tiba – tiba Desi meringis sambil memegang perutnya. Wajah keempat sobat lainnya spontan berubah khawatir.
“Kenapa Des?”
“Lu sakit perut?”
“Atau maag lu kambuh?
“Atau lagi dapet?”
“Lu serius nih, Des?”
Keempat gadis itu menatap Desi penuh khawatir. Desi nyengir, membuat para sobatnya semakin bingung.
“Iya, kita ke kantin dulu yuukk, yuuukkk!.”ucap Desi dengan gayanya yang lugu. Lucu dan belagu!
Kontan keempat sosok lainnya bernapas lega, tapi kesal. Keempatnya langsung bersiap menjitak kepala gadis imut itu dan berteriak serentak, “Huuu… itu mah karena belom nyarap kali alias laper non! Makaaan aja dipikirin! Dasaaaarr!”
“AUUU!! Sakit tau!” jerit Desi ketika tangan – tangan itu mendarat di kepalanya.
…………………


Dinda berjalan dengan santai menuju tempat parkir mall tempat di mana ia biasa berbelanja dan mencari kebutuhan – kebutuhan yang diinginkannya, tempat dimana pak Maman, sopirnya, menunggu. Di tangannya tergenggam sebuah kantong plastik berisi kantong obat bertuliskan nama sebuah apotek dan beberapa barang belanja harian. Namun, beberapa saat menunggu, mobil yang ditunggunya itu tak juga menunjukkan tanda – tanda akan datang.
Dinda mulai gelisah. Berkali – kali diliriknya arloji yang melingkar manis di pergelangan tanggannya. Huff. Kemana sih pak Maman? Kan udah disuruh tunggu di sini? Mana panas, banyak asap, bikin sesak napas, udah tahu Dinda paling anti sama yang namanya asap belakangan ini, kok malah harus berlama – lama di basement yang banyak asap mobil begini! keluh Dinda. Ia menarik napas panjang, menumpahkan kekesalannya. Tiba – tiba sebuah suara dari arah belakang mengejutkankannya..
“Hai, Din…!”
Dinda menoleh, terkejut. Fery terlihat tersenyum ke arahnya.
“Fery? Kok kita bisa kebetulan ketemu ya?” ucap Dinda bingung, sekaligus surprise, “ Lagi ngapain di sini? Belanja?”
Fery tertawa, deretan – deretan giginya yang putih menambah pesonanya, “Nggaklah, tadi abis nganterin mama belanja. Kamu?”
“Ya, abis belanja. Trus sekarang mo kemana? Lagi nungguin mama kamu?”
“Nggak, malah mama nyuruh aku pulang duluan, ntar katanya dia bisa pulang naik taksi.”
“Oh..” mulut Dinda mengerucut.
“Kamu sendiri lagi ngapain sendirian di sini? Apa lagi nunggu seseorang? Atau lagi janjian sama Anggi?”
“Anggi?”
“Ya, tadi kan ada Anggi, aku ketemu kok tadi di dalam.”
“Ah, nggak, lagi nunggu pak Maman, sopirku. Tadi sih janjinya nunggu di sini, tapi udah lama aku nunggu dianya belum datang – datang juga. Mana di sini kan banyak asap gini, panas lagi!” keluh gadis itu sambil mengelap keringatnya yang mulai bercucuran dengan tissu.
“Oh, kirain janjian sama Anggi. Ya udah, gimana kalo kamu ikut aku aja, ntar aku anterin, kan kita searah. Yuk!” Ajak Fery.
“Aduh, jadi nggak enak nih Fer, nanti malah ngerepotin.” Dinda merasa nggak enak. Tapi Fery terus memaksa, “Udahlah, yuk!”
Akhirnya dengan ragu – ragu Dinda mengikuti langkah Fery. Sebuah sedan keluaran terbaru segera meluncur dari pusat perbelanjaan itu, diikuti mobil lainnya.
………bersambung ke Bagian Empat………….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar