masak

Selasa, 15 Juni 2010

RB - Bagian Enam

Dua Hari setelah pemilihan Siswa Teladan…

“Hi, Nggi, Des, udah pada ngerjain pe-er belum?” teriak Dinda ketika dua sahabat kentalnya, Desi dan Mia, melintas hanya beberapa meter di depannya. Di luar dugaan Dinda, kedua gadis itu melengos dan langsung pergi meninggalkan Dinda yang langsung terdiam dan bengong di tempatnya berdiri. Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi? Apakah ia telah melakukan suatu yang besar sekali? Kemarin ada surat misterius itu, sekarang apa lagi? atau Mungkinkah… ah, Dinda segera menepis prasangkanya, lalu bergegas menuju kelasnya.

BERSIHKAN SEKITAR KITA DARI KUMAN TBC!! ”.

“JAUHI PENDERITA TBC JIKA ANDA TAK INGIN TERTULAR!”

“HATI – HATI PADA PENDERITA TBC, BISA JADI BENCANA!”

“BEBASKAN KELAS INI DARI BAKTERI TUBER CULOSIS!!”

Apa?! Dinda terperanjat melihat coretan kapur di mejanya begitu gadis itu hendak meletakkan tas. Gadis itu urung untuk segera duduk. Ia langsung mengedarkan pandangan ke segala penjuru kelas, berharap ada yang menjelaskan semua ini kepadanya. Tapi tak ada jawaban. Hanya bisik – bisik yang disertai tatapan sinis dan jijik yang ada di segenap sudut kelas, seolah menyuruh gadis itu adalah kuman yang harus segera disingkirkan dari pandangan mereka.

Dinda merasakan kedua matanya mulai terasa panas. Dadanya mulai terasa sesak. Air matanya seakan ingin berhamburan untuk segera keluar. Siapa yang melakukan semua ini? Siapa provokator semua ini? bukankah pak Teguh kemarin sudah berjanji tidak akan membocorkan rahasia ini? ah, tidak. Dinda menepis prasangkanya. Pak Teguh bukanlah orang yang begitu! yang dengan mudah berbicara kepada orang lain tentang aib seseorang. Sedangkan orang lain? Rasanya Dinda tak pernah menceritakan hal ini kepada siapapun, termasuk kepada Fery!. Lalu siapa? Oh! Dinda langsung terlonjak, bukankah ada seorang lagi -- yang entah siapa namanya--? seseorang yang membocorkan rahasia itu kepada pihak sekolah! apakah masih orang yang sama? Tapi siapa dia? Oh, Tuhan!

Dada Dinda mulai terasa sesak. Ia segera mengambil tas yang tadi sudah tergeletak di atas kursi. Ia segera berlari keluar kelas dengan berurai air mata. Gadis itu tidak menyadari sesosok bayangan sedang menatap bayangannya yang semakin menjauh dari sebuah kelas tak jauh dari sana.

Toilet! Hanya toilet yang terpikir oleh Dinda. Tempat yang menjijikkan memang, tapi setidaknya di sana ia akan bisa menumpahkan sesak di dadanya dengan menangis sebentar tanpa seorangpun yang akan tahu dan tanpa seorangpun yang akan menatapnya dengan jijik dan penuh benci.

Namun, baru saja Dinda hendak membuka pintu toilet. Tiba – tiba langkahnya mendadak terhenti ketika mendengar suara – suara yang rasanya sangat akrab di telinganya, yang berasal dari dalam toilet. Dinda mengusap air matanya yang tadi mengalir, lalu berusaha untuk menajamkankan kupingnya. Suara itu rasanya amat dekat, batin Dinda.

“Eh, udah deh! Mendingan nggak usah deket – deket dulu deh sama si Dinda, ntar kita ketularan lagi!” seru suara itu. Dinda terbelalak. Siapa? siapa yang sedang membicarakannya?

Dinda berusaha lebih mendekatkan lagi telinganya ke daun pintu. Itu.. Dinda seakan tak percaya dengan pendengarannya ketika ia berhasil mengenali suara itu. Mia? Mia bicara seperti itu?

“Iya, gw juga nggak mau deket – deket sama dia, pantesan dia nggak mau kita ajak ke dokter waktu itu, takut ketahuan kali, ya? Kasian amat si Fery! ” itu suara.. Selly!

“Kok, malah Fery sih?” tanya Mia lagi.

“Iya, duh! Patah hate, hiks! Hiks!” jawab Selly pura – pura sedih.

“Ih, tau gitu mah.. iiih! Ntar gw ketularan lagi! TBC kan penyakit yang menular lewat udara, trus masuk ke paru, trus ke saluran limfe paru, tapi nggak pa – pa denk, enak lagi!” kata gadis yang sedang menyisir rambut pendeknya. Desy?

“Haah?? Lu mau tebece Des? Mau mati lu? TBC kan bisa nyebar ke seluruh tubuh, Des!” Selly kaget.

“Kata siapa?” Desi ngakak.

“Waktu itu kalo nggak salah gw pernah baca di koran, udah gitu nih yang kena nggak akan Cuma paru – paru aja, bisa seluruh tubuh.. udah gitu tiap harinya yang meninggal karena tebece tuh sampai empat ratusan! Hiii, ngeri deh gw..!” jelas Selly.

Desi semakin ngakak,” Sok tua lu!! Maksud gw TeBeCe.. Tidak Butuh Cinta maksud gw, kan enak tuh gw nggak usah capek – capek cari kecengan! ha… ha…”

“Huu! gw kirain..”

“Kirain apa? tebece kayak Dinda, nggak lah yau..”

“Udah ah, yuk semuanya. Cau!” Anggi? Anggi juga ada?

Komplit!

Dinda terhenyak. Keempat sahabat yang selama ini menjadi bagian hidupnya dan menjadi tempat harapan untuknya bersandar, kini membicarakannya dengan begitu kejam dan menyakitkannya.

KREEKK!!

Dinda bergerak reflek menghindar dari pintu dan bersembunyi di balik tumpukan papan di samping toilet. Dugaan Dinda tak salah. Tampak Anggi, Mia, Selly dan Desi keluar dari sana. Dinda terpaku. Airmata yang tadi sempat tertahan, kini mengalir tak tertahankan dengan deras dari bola matanya yang hitam seperti kristal. Dadanya semakin sesak. Persendian tulang inda terasa lunglai dan lemas.

“Ya Allah, apa salahku sehingga aku harus menerima hukuman seperti ini? mengapa semua orang, termasuk para sahabatku ikut menyalahkan aku yang tak tahu apa – apa ini? Aku harus bagaimana? Siapa yang mau menderita tebece? akupun tak pernah menginginkan mendapatkan penyakit seperti ini.. Tuhan, aku tak pernah meminta dijangkiti penyakit ini. Aku harus bagaimana? Ya Allah…!!” jerit Dinda lirih. Pedih.

….……………

Sementara itu di sebuah rumah beberapa jam kemudian …

“Bu, saya sudah menemukan dia, dia ada di kota ini, saya juga sudah tahu tentang anaknya, anaknya Papa..” ujar anak itu kepada ibunya yang tengah asik dengan sebuah komputer di depannya. Dahinya mengernyit. Ia menoleh dengan terkejut atas ucapan anaknya itu.

“Apa? Apa kamu bilang, nak? Menemukan siapa?”

“Saya udah tahu tentang orang yang bernama Pram itu, orang yang ibu suruh saya panggil papa.”

“Demi tuhan nak, jangan lakukan apa – apa, biarkan ia bahagia dengan kehidupannya sekarang. Jangan ganggu mereka.”

“Biarkan, bu? Bukankah dia yang sudah meninggalkan ibu? Adikku? Meninggalkan kita?”

Kan ibu sudah bilang berkali-kali, bukan dia yang meninggalkan ibu, tapi ibu yang meninggalkannya, justru ibulah yang berhutang budi padanya, dia yang menolong ibu dan kamu, adikmu.. dia nggak salah, nak. Ibu dari awal sudah tahu kalau ia sudah berkeluarga. Ia punya keluarga yang bahagia dan kehidupan yang bahagia, jadi ibu pikir.. waktu itu.. waktu dia tak datang itu adalah waktu yang tepat buat ibu untuk keluar dari kehidupannya, sebelum terlalu jauh dan terlalu banyak bikin masalah dalam keluarganya..”

“Ibu nggak bohong?”

“Tentu aja nggak, buat apa ibu bohong sama kamu.. Lagian dendam itu nggak baik nak..”

“Tapi, aku boleh kan melakukan sesuatu?”

“Melakukan apa?”

Ada deh, ibu nggak usah tahu dulu, nanti juga ibu tahu sendiri..”

Ibu dan anak itu saling memandang, lalu diam dengan pikiran mereka masing – masing dan larut dalam lamunan mereka masing – masing.

Jakarta masih panas, seperti hujan yang akan turun dengan lebatnya.

…………bersambung ke bagian Tujuh…………………..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar