masak

Sabtu, 19 Juni 2010

RB - Bagian Sepuluh

Beberapa hari kemudian setelah percakapan itu..
Dinda memandang rumah megah di depannya sekali lagi untuk yang terakhir kalinya. Rumah yang tidak hanya megah dan nyaman untuk ditempati, tapi juga menyisakan begitu banyak kenangan manis dan pahit. Dan kini, ia harus melepas semuanya, termasuk Mbok Yana dan pak Maman yang mengabiskan hampir separuh umurnya untuk mengabdi pada keluarga Dinda.
“Baik – baik sama majikan yang baru ya mbok, pak!” ucap Dinda kepada Mbok Yana dan pak Maman.
Mbok Yana dan pak Maman akan tetap bekerja di rumah ini dengan majikannya yang baru. Itu adalah syarat yang diberikan Dinda kepada tuan Tan, pengusaha China, penyewa baru rumah ini.
Mbok Yana dan pak Maman mengangguk mengerti. “Kami mengerti non, malah kalau non nggak keberatan, non bisa tinggal sama mbok, di rumah mbok.” Mbok Yana memandang Dinda.
“Makasih Mbok, tapi biar Dinda cari kontrakan aja. Nanti kalau Dinda ada rezeki, pasti balik lagi tinggal di sini, sekarang Dinda pulang dulu ya, kasian Ryan nungguin ayah sendirian.”
Dinda menyalami pak Maman, lalu memeluk mbok Yana. Keduanya tak tahan untuk tidak meneteskan airmata. Kedua ibu dan anak yang tak ada hubungan darah itu berpelukan dengan erat.
“Jaga diri baik – baik ya non, kalau ada apa – apa datang atau telpon aja simbok, nanti sekali – kali mbok akan datang ke rumah sakit, jangan lupa minum obat .”
“Iya mbok..”
“Iya non, sama bapak juga nggak usah sungkan kalau mau minta tolong pada kami.” pak Maman menimpali.
“Makasih mbok, pak, untuk semuanya. Nanti kalau ayah udah sembuh, nanti Dinda telpon deh ke sini. Assalamu alaikum.”
“Wa’alaikum salam..” jawab keduanya bersamaan.
Dinda segera melangkah menuju gerbang. Tapi baru beberapa langkah kemudian, teriakan mbok Yana kembali menghentikan langkahnya.
“Eh, iya non, lupa!”
“Ada apa lagi mbok?” tanya Dinda. Keningnya mengernyit.
“Anu.. salam ya, buat den Ryan dan non Zahra, mereka anak baik ya? mudah – mudahan aja dia jodohnya si non!”.Mbok Yana nyengir. Pak Maman menyikutnya.
“Siapa mbok?”
“Ya den Ryan! masak non Zahra?” mbok Yana nyengir lagi.
“Ah, mbok bisa aja.. ” Dinda tersenyum malu. Ia lalu melambaikan tangan dan melanjutkan langkahnya yang semakin menjauh meninggalkan mbok Yana dan pak Maman.
Ah, Ryan, Zahra. Tak banyak yang Dinda ketahui tentang kehidupan kedua sosok itu. Rasanya Ryan dan Zahra masuk kekehidupannya begitu saja. Dinda tak tahu darimana cowok itu memperoleh informasi tentang dirinya sampai sedetail itu. Di sekolah? memang rasanya tampang cowok itu sering terlihat, tapi siapa yang kenal? Yang jelas, Dinda menyadari secara tak langsung, Ryan dan Zahralah yang telah meyakinkan Dinda untuk terus bertahan sampai saat ini. Ah, tapi bagaimana kalau suatu saat Ryan juga akan sama dengan teman – temannya yang lain? Jodoh? Ah, Dinda tak berani berpikir terlalu jauh. Jodoh siapa yang tahu? Bukankah semua itu rahasia tuhan? Ryan. Ya, sosok itu memang istimewa dan terus terang rasanya memang ada yang terasa berbeda dengan cowok dan kakak - beradik itu sejak pertemuan pertama kali itu. Tapi entah apa.. Dinda tak tahu dan tak bisa mengingat hal itu. Otaknya terlalu lelah untuk memikirkan masalah itu.

……………….

08.00 pm.Di sebuah kafe, kawasan kuningan…
Ryan memasuki sebuah kafe dengan ragu – ragu. Suasana di dalam yang penuh dengan kepulan asap rokok dan lampu yang remang – remang membuat cowok itu kesulitan mengenali orang – orang di sekelilingnya. Matanya masih terus menyusuri meja demi meja, hingga akhirnya menemukan meja yang ia cari. Tujuh orang yang sudah sangat dihapalnya. Ketujuhnya asyik dengan pembicaraan mereka masing – masing. Ryan segera menuju meja tersebut.
“Nggi, Fer, bisa kita bicara sebentar?” Ryan mengeraskan suaranya, berusaha mengalahkan irama hentakan musik yang di setel dengan cukup keras itu. Merasa namanya disebut, Anggi dan Fery mendongak.
“Ngomong ya ngomong aja..” Anggi menyahuti.
“Gw Ryan, temen Dinda..”
Anggi ngakak, “Ha.. ha… hei temen – temen, dia bilang dia sekarang temennya Dinda, Dinda si tebece itu udah punya temen baru dia rupanya.”
“Ha… ha…” Serentak ruangan itu dipenuhi gelak tawa. Ryan berusaha untuk tidak peduli dengan sekelilingnya.
“Trus, lu mau apa ke sini, mau minta gw nemenin lagi tuh anak, trus ntar gw duluan yang mati dari pada dia? iya? Atau mo minta uang untuk berobat? Udah deh, dia emang lebih pantes kok temenan sama orang kuper dan kampungan kayak lu, udah sana! Ganggu gw aja!” Anggi mengepulkan asap rokoknya ke arah Ryan, membuat cowok itu terbatuk – batuk. Tawa kembali meledak memenuhi seisi ruangan.
Kali ini Ryan merasa tak dapat lagi menahan diri, mukanya memerah menahan amarah.
“Ok, gw kuper, tapi lebih baik dari pada kalian yang sombong kayak gini! Gw masih punya hati.. Teman macam apa kalian yang senang – senang diatas penderitaan orang lain? Asal kalian tahu, sekarang Ayah Dinda sedang di rawat di rumah sakit, korban tabrak lari, sedangkan Dinda kondisinya sendiri juga kalian tau sendiri. Sedangkan kalian? Kalian asyik besenang – senang di sini! Trus, Hanya karena tebece, lalu Dinda pantas menerima perlakuan seperti itu? ha? Apa dia pernah minta dikasih tebece? Hah?”
Keenam orang lainnya tampak tak peduli. Hanya Fery yang berubah ekspresinya dan terlihat menyimpan sesuatu di kepalanya. Keningnya berkerut dan terlihat sedang berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
“Dan lu Fer, gw nggak nyangka lu orang yang serendah itu, lu tega ninggalin Dinda begitu aja. Lu rendah Fer! Pengecut!”
Fery tersentak dibentak begitu. Dipandangnya Ryan dengan tatapan tajam. Baru kali ini ada orang yang membentaknya, di depan umum lagi! naluri cowok itu segera bekerja. Ia berdiri dengan tangan terkepal.
“Hei, tau apa lu tentang gw? hah?! Tau apa lu tentang gw? tau pa lu tentang gw dan Dinda? Berani lu sama gw?” Fery mencengkram kerah baju Ryan sampai kusut. Ryanpun tampak siaga, siap membalas. Semua pengunjung kafe sekarang tampak diam, tak berani bersuara.
“Eit, STOP!! Udah Fer, masak lu mau berantem sama dia anak kampung gini, nggak lucu kan?” Selly menahan Fery, lalu berpaling pada Ryan, “Hei, berani lu ya, bentak – bentak gw dan temen – temen gw? lu pikir lu siapa? Keluar deh lu dari sini! Satpam..!” Selly melerai.
Dua orang lelaki bertubuh kekar dan berpakaian bertuliskan “security” segera pasang badan. Fery langsung melepaskan kerah baju Ryan, tanpa melepaskan tatapannya yang masih tajam. Tanpa menunggu kedua lelaki itu menyeretnya keluar, Ryan segera berbalik dan pergi meninggalkan hiruk pikuk yang kembali mewarnai kafe itu.
Percuma. Sungguh percuma meminta pertolongan mereka. Nggak cewek – cewek centil itu, nggak Fery, semuanya sama!, maki Ryan dalam hati. Lalu bagaimana lagi ia harus membantu gadis itu?
Ryan tahu betul kesulitan keuangan yang dialami Dinda, meskipun Dinda berusaha menyembunyikan hal itu kepadanya. Sementara ini memang uang hasil sewa rumah yang merupakan jalan terakhir itu cukup untuk membiayai perawatan pak Pram. Tapi sampai kapan uang itu mencukupi, sedangkan biaya perharinya saja mencapai jutaaan rupiah? Lalu bagaimana dengan pengobatan dan perawatan yang juga harus dijalani gadis itu agar sembuh dari tebe-nya?

………………..

Dinda baru hendak mengetuk pintu ruangan dokter Hans ketika terdengar suara dari dalam. Oo.. berarti sedang ada tamu, pikir Dinda, lalu duduk di bangku yang berderet di samping pintu masuk.
“Jadi nyonya akan membantu biaya pengobatan pak Pram selanjutnya?” tanya dokter Hans, memastikan apa yang disampaikan wanita itu sekali lagi.
“Ya, Dok, saya akan bayar semua biaya pengobatan untuk Pram..”
APA??!!
Dinda terlonjak kaget ketka mendengar nama ayahnya disebut – sebut. Gadis itu mencoba melihat ke dalam melalui celah tirai yang sedikit tersibak. Dan menajamkan pendengarannya Tampak seorang wanita tengah berbicara dengan dokter Hans. Tidak, wajah wanita itu tidak kelihatan, karena membelakangi jendela, hanya kalau dilihat dari bajunya sepertinya dia adalah seorang pengusaha atau bisniswomen. Dinda semakin menempelkan telinganya ke jendela dengan penuh penasaran. Siapa dia?
“Kami sangat berterima kasih sekali, karena terus terang kami melihat Putrinya sudah agak.. yah bingung karena kehabisan biaya. Saya jadi kasihan juga melihatnya. Gadis sekecil itu sudah harus menghadapi masalah hidup seperti ini, sedangkan kondisi pak Pram belum juga membaik, ada gumpalan darah yang menggumpal di bagian kepalanya. tapi, kalau boleh, bisakah anda memberitahu saya apa alasan kenapa anda melakukan ini nyonya ?” tanya dokter Hans lagi.
Dinda menanti jawaban selanjutnya dengan berdebar – debar.
Wanita itu tampak menghela napas panjang,” Tidak ada maksud apa – apa dokter, hanya saja pak Pram di mata saya adalah seorang yang baik, seseorang yang sangat berarti dalam hidup saya..” jawab si wanita yang wajahnya masih belum kelihatan juga pleh Dinda itu.
Dinda terbelalak. Beberapa perkiraan langsung seperti tertulis di otaknya. “Seseorang yang teramat berarti? Siapa sebenarnya wanita itu? ada hubungan apa ayah dengan wanita itu? mungkinkah ayah… ah, tidak! Ah, ayah tak mungkin seperti itu!” Dinda berusaha menepis pikirannya.
“Dan saya juga minta pada dokter, tolong rahasiakan hal ini kepada siapapun dok, termasuk Dinda, putri pak Pram dok, dan juga anak - anak saya..”
Apa?! Dinda semakin penasaran. Jadi?
“Kalau boleh saya tau, kenapa harus dirahasiakan pada anak ibu?”. Tanya dokter Hans lagi.
Wanita itu terdiam. Dinda menanti kalimat selanjutnya dengan dada yang semakin membuncah. Napasnya tertahan. Ayo, cepat katakan!
“Begini dok, selama ini anak saya itu sangat benci sama Pram, saya takut mereka jadi tambah benci dan bertindak macam – macam kalo dia tau saya masih menghubungi, apalagi sampai membantu Pram. Biarlah semua menjadi rahasia sampai keadaan mengizinkan saya untuk menceritakan segalanya kepada mereka.“
Mas Pram? Ibu? Anak? Siapa wanita ini? Anaknya siapa? Mengapa harus dirahasiakan segala?
Dinda menanti kelanjutan percakapan itu dengan penuh dugaan. Tapi, tak ada pembicaraan lagi tampaknya. Dokter Hans terlihat manggut – manggut.
“Baiklah Dokter, saya permisi dulu. Kalau ada perkembangan tolong kabari saya, permisi.”
Suara wanita itu membuat Dinda kembali tersadar dengan posisinya yang masih berdiri tepat di depan pintu. Dengan cepat gadis itu berbalik mundur dan masuk ke toilet di samping ruangan tersebut.
Dinda merasa kepalanya seperti meledak ketika sosok itu keluar dari ruangan dengan tergesa - gesa. Dia mundur terhenyak ke belakang ketika sosok itu melintas di depan toilet tempatnya berdiri. Tante Tari? Mamanya… Fery?!
Beberapa pertanyaan langsung menyergap otak Dinda. Mungkinkah semua prasangka yang ada di kepalanya benar? Inikah jawaban atas tatapan aneh nyonya itu waktu di pesta ulang tahun putranya Fery waktu itu? Mungkinkah Fery terlibat atas semua yang dialami ayah dan dirinya dan yang terjadi selama ini sehingga semua harus dirahasiakan kepadanya? kalau benar Fery terlibat, apa arti kedekatan mereka selama ini? ataukah mungkinkah Fery hanya memanfaatkannya untuk membalaskan kebenciannya? Apakah perubahan sikapnya ini juga merupakan salah satu urutan dalam menuntaskan kebenciannya pada papa? Dinda merasa kepalanya semakin berputar. Pusing!
Huff. Dinda menarik napas panjang. Ia segera mengurungkan niatnya untuk menemui dokter Hans. Ia kembali melangkah menuju kamar tempat ayahnya dirawat. Ia bernapas lega ketika di sana tak ada siapa - siapa. Tampaknya tante Tari langsung pulang, bisik hati Dinda.
Namun, hanya sesaat ia bernapas lega, kening Dinda kembali mengernyit begitu melihat seikat bunga mawar beraneka warna yang tergeletak di meja samping tempat tidur ayahnya. Dinda segera mengambil dan membaca nama si pengirimnya. Gadis itu langsung terperanjat, di kertas itu hanya ada kata “Untuk Mas Pram” dan tak ada tulisan apa – apa lagi!
Dinda merasa otaknya langsung berputar dengan otomatis. Mungkinkah tante Tari sempat mampir ke sini tadi? Ataukah dari seseorang yang lain? Atau dikirimkan melalui perawat? Oh, tunggu.. tunggu.. kalu dikirimkan lewat perawat atau dengan memesan, bukankah seharusnya ada nama pengirim atau minimal tulisan untuk siapa yang diberi?
Dinda lalu menghampiri perawat yang menunggu di ruang informasi, bunga itu tergenggam di tangannya.
“Maaf, suster!”
Suster yang sedang sibuk dengan berkas – berkas di mejanya itu menoleh, “Ya, mbak. Ada yang bisa saya bantu?”
“Ini..”Dinda mengacungkan seikat bunga yang dipegangnya,”Apa suster lihat siapa yang membawa masuk bunga ini tadi?”
“O.. itu, ya. Tadi saya yang antar ke tempat pak Pram. Memangnya ada apa mbak?”
“Boleh saya tahu siapa yang menitipkannya?”
“Kalau namanya saya nggak tahu mbak, tapi yang jelas dia seorang wanita, saya lupa seperti apa rupanya, karena tadi saya sedang sibuk dengan pekerjaan saya, jadi saya tak terlalu memperhatikannya.”
“Oh, begitu. Makasih suster.”
Suster itu mengangguk, lalu kembali sibuk dengan berkas – berkas di depannya. Dinda meninggalkan ruang informasi itu dengan wajah yang tak berubah dengan sebelum ia bertanya tadi. Seorang wanita? Siapa dia? Apakah wanita itu tante Tari? ataukah ada wanita lain yang menjenguk papa? Tapi ini? oh! Jadi berarti.. ah, bodo! EGP aja deh!, seru Dinda dalam hati.
Dinda bergegas kembali ke kamar ayahnya.

………..…………………

Dinda terduduk di depan ranjang ayahnya yang sudah terbaring selama empat puluh hari lebih itu. Ditatapnya mata ayahnya yang terbaring lekat – lekat. Sesekali tangan yang dari tadi tak lepas dari genggamannya itu diciumnya dengan sayang. Air mata mengalir dari matanya yang bening. Dengan pilu dan lirih ia berbisik, “ Ayah, ayah masih ingat sama Dinda? Dinda nggak tau ayah bisa dengerin Dinda apa nggak, tapi ayah harus dengerin Dinda! Dinda mohon ayah..! kalau ayah nggak bisa menjawab, tunjukkin sama Dinda kalo ayah bisa denger Dinda ngomong, beri Dinda sebuah tanda… tanda ayah bisa dengerin Dinda, tolonglah ayah!”
Dinda menelan ludah, suaranya semakin habis dan parau, “ Ayah, ayah harus tau, ayah sangat berarti buat Dinda. Ayah tahu? Dinda pengen banget kita balik kayak dulu lagi, jalan – jalan sekeluarga.. uhuk! Uhuk! tapi Dinda tahu, itu nggak mungkin karena bunda udah nggak ada, dan sekarang yang Dinda punya Cuma ayah! Ayah harus dengar, yang satu – satunya Dinda punya Cuma ayah . Dinda nggak sanggup lagi yah, kalau harus hidup tanpa ayah! Dinda nggak akan bisa menghadapi kenyataan ini.. tolonglah ayah.. Dinda nggak peduli ada hubungan apa ayah dengan ibunya Fery atau siapalah yang ngirim bunga itu buat ayah, asalkan ayah sembuh, Dinda nggak akan protes apapun lagi..”
Mata Dinda memandang ke sudut ruangan di tempat seikat bunga yang mulai layu itu. Entahlah, sampai sekarangpun Dinda masih bertanya – tanya siapakah wanita yang mengirimkan bunga tanpa pengirim itu. Ingin rasanya Dinda bertanya pada ayahnya, tapi itu tak mungkin! Pram tetap saja terbaring tak bergerak!
Dinda mengusap pipi ayahnya dengan punggung tangannya yang lembut. Mulutnya terus berkata di sela – sela batuknya dengan suaranya yang semakin serak,” Ayah, kita kan hidup bahagia lagi setelah ayah sembuh. Dinda akan terus ada di samping ayah, merawat ayah, memperhatikan ayah, menyayangi Ayah, kita akan hidup bahagia, meski kita udah nggak punya rumah bagus lagi, kemana – mana nggak pakai mobil, hidup dengan sederhana, uhukkk!!” Dinda terbatuk menahan sedih di hatinya.
“Dindapun nggak tau, apa Dinda masih punya umur yang panjang, ayah tau kenapa? karena setiap tahun minimal orang yang meninggal di Indonesia hampir lima ratus ribu per tahun.. karena itu, Dinda pengen dalam waktu yang nggak tentu ini Dinda bisa merawat ayah, menjaga ayah, berbakti pada ayah, ayah adalah satu – satunya yang bikin Dinda semangat lagi untuk hidup.. tolong Dinda ayah! Dinda… ”
Kalimat Dinda terhenti ketika merasakan tangannya basah dan hangat. Sudut mata ayahnya tampak mengeluarkan butiran air mata. Dinda terloncat kaget. Ia segera melompat ke luar ruangan.
” Dokter..! ayah bisa mendengarkan saya dokter! Zahra..! ke sini Ra, ayah, ayah bisa mendengarkan Dinda! Lihat Zahra! Ayah bereaksi, ayah bisa mendengarkan Dinda..“ jerit Dinda menghambur keluar kamar. Ia melompat seperti anak kecil yang kegirangan.
Zahra segera memanggil para suster dan dokter. Dalam sekejap kamar itu langsung dipenuhi kesibukan yang luar biasa.

…….bersambung ke bagian sebelas.…………….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar